POLITIK DAN GEREJA YANG MEMBISU
Andreas Neke
Pengamat Sosial-Politik, Tinggal di Bajawa, Flores, NTT
Gereja ada dalam dunia (being in the world) sebagai bagian dari realitas dunia. Sebagai bagian dari realitas dunia, Gereja selalu hadir melalui seruan-seruan untuk menyuarakan masalah-masalah yang terjadi di tengah dunia, misalnya masalah sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan hidup.
Masalah politik menjadi salah satu poin yang sering diserukan Gereja. Dalam urusan politik, Gereja tidak hanya berbicara tentang keterlibatan umatnya dalam politik, tetapi juga melihat hubungannya dengan nilai-nilai iman kristiani.
Gaudium et Spes (GE artikel 73) menyinggung hubungan politik dan iman kristiani. Dikatakan bahwa semua kekuasaan harus digunakan untuk kepentingan umum bukan demi kepentingan pribadi atau partai politik.
Dalam Ensiklik Octogesima Advensiens (OA nomor 46) dikatakan bahwa politik bertugas untuk memecahkan soal-soal hubungan antara manusia. Umat kristiani diundang untuk terlibat di dalamnya dan menentukan pilihan mereka sesuai dengan nilai-nilai Injil.
Semua rumusan dalam dokumen Ajaran Sosial Gereja dalam kaitannya dengan politik, menunjukkan kepada kita bahwa masalah politik berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia.
Dalam konteks Gereja Indonesia selalu ada imbauan melalui Surat Gembala baik secara nasional melalui KWI maupun secara partikular/lokal oleh masing-masing keuskupan, tetapi rasanya kurang atau belum efektif karena praksis politik di tengah umat sebagai warga Negara masih bertentangan dengan nilai-nilai Injil.
Petrus Octavianus dalam bukunya Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055, hal. 223-224) menguraikan beberapa jenis atau bentuk kejahatan di bidang politik antara lain korupsi, kolusi, nepotisme, money politic, teroris, perang, perebutan kekuasaan, runtuhnya demokrasi, runtuhnya keadilan, kepentingan partai bukan bangsa, penyalahgunaan jabatan, kekuasaan dan kedudukan atau wewenang untuk menyingkirkan orang lain.
Sedangkan menurut Eka Darmaputra, dalam bukunya Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal 211-212, menjelaskan penyebab kejahatan ialah persaingan yang tidak sehat, saling menjatuhkan, (supaya saya bisa hidup, yang lain mesti mati) manusia menjadi serigala bagi sesamanya, bukan supaya saya hidup yang lain juga harus hidup.