Mohon tunggu...
Andreas Gunapradangga
Andreas Gunapradangga Mohon Tunggu... Wiraswasta - Owner PT Agrikencana Perkasa

An integrated Farming Based on Applied Modern Biotechnologies

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pertanian Indonesia di Persimpangan Zaman

30 Maret 2021   02:15 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:46 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

REVOLUSI HIJAU (Green Revolution)

Sejarah Revolusi Hijau sebagai konsep development yang diperkenalkan Amerika bagi negara ketiga dalam bentuk program industrialisasi dan modernisasi pertanian memang telah membuahkan hasil yang menakjubkan. 

Di Indonesia melalui program BIMAS, INMAS, INSUS maupun SUPRA INSUS, telah meningkatkan produktifitas pertanian (padi) meningkat hingga dua kali lipat dibanding produksi pada tahun 1960-an.  Bahkan puncaknya, negara kita berhasil mengubah dari negara pengimport beras menjadi berswasembada pada tahun 1984.  

Kisah sukses yang dramatis tersebut akhirnya berakhir setelah beberapa tahun kemudian negara kita kembali menjadi negara peng-import beras, bahkan puncaknya terjadi pada tahun 1998 negara kita mengalami krisis beras yang berawal dari badai krisis moneter  sejak Juli 1997 dan  kita selalu mengimport beras hingga sekarang.

DILEMA PERTANIAN INDONESIA

Saat ini sektor pertanian kita masih dihadapkan pada satu kendala besar dalam menghadapi persaingan baik dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas hasil pertanian untuk mampu bersaing dengan negara lain. 

Hal  ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang masih hoby mendatangkan pangan dari Luar negri karena kepentingan politik untuk kecukupan stock dan menstabilkan harga beras dalam negeri. Sementara kementrian terkait masih pusing memikirkan peningkatan hasil produksi (khususnya tanaman pangan) guna kecukupan kebutuhan pangan dalam negeri. 

Sementara pupuk (kimia) jika penggunaanya berlebih justru akan merusak tanah dan kehidupan renik yang ada didalamnya. Terlebih dengan kebiasaan petani menggunakan pestisida/ herbisida kimia. Jadi seandainya pupuk subsidi itu didistribusikan dengan benarpun, tidak ada jaminan kenaikan produksi, karena secara tersistem tanah akan rusak.

POTRET PETANI INDONESIA

Petani saat ini semakin tergilas dengan sitem pertanian industrial  yang memproduksi pangan murah dengan masukan tekhnologi yang padat modal, lahan yang luas dan intensifikasi dengan mekanisasi peralatan, benih dengan rekayasa genetika dan masukan kimia buatan yang semuanya serba mahal. 

Petani Indonesia berada di persimpangan jalan. Kondisi ketidakberdayaan ini bukan tidak disadari oleh petani , namun kesadaran  dalam diri  petani tampaknya belum cukup untuk bersikap kecuali keluar dari dunia tani atau tetap “berdiri berendam dalam air setinggi leher”    Kenyataan pahit inilah yang mengakibatkan generasi muda kita enggan berkecimpung dalam dunia pertanian.

Belum lagi kalau berbicara soal kemandirian pangan. Kenapa didaerah yang biasa mengkonsumsi sagu, atau jagung atau umbi-umbian harus dibuatkan sawah tempat menanam padi? Siapa yang akan menjadi petani sawahnya? 

Dan masyarakat setempatnya harus belajar untuk mengganti pola konsumsinya menjadi beras. Kenapa pula tidak ada yang mempertanyakan banyak pola konsumsi yang bergeser ke konsumsi dengan bahan dasar gandum sementara kita tidak punya tanaman gandum sama sekali? Impor gandum kitapun semakin tahun semakin meningkat sangat signifikan.

PETANI (CULTURAL) VS PERTANIAN (INDUSTRIAL)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun