Mohon tunggu...
Andreas Sihotang
Andreas Sihotang Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan Pekerja Sosial

Pekerja sosial di organisasi non pemerintah, bekerja di bidang pengembangan masyarakat dan pengembangan perdamaian, saat ini sedang studi S3 Public Affairs di Amerika.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teori Public Choice dan Matinya Kapitalisme

31 Januari 2021   02:13 Diperbarui: 31 Januari 2021   03:24 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin, 29 Januari 2021, departemen kami (Truman School of Public Affairs) menyelenggarakan seminar via zoom dengan pembicara tunggal: Prof. Michael Munger. Judul presentasinya adalah “Is Capitalism Sustainable? The Platform Economy: Problems for Policy.”

Prof. Munger adalah seorang ekonom yang mengajar ilmu politik, kebijakan publik, dan ekonomi di Duke University. Dia mengklaim dirinya sebegai seorang public choice theorist. Teori public choice bersumber dari teori rational choice dalam ilmu ekonomi, tapi diaplikasikan dalam ilmu politik. Teori ini secara sederhana mengatakan bahwa setiap orang itu adalah individu yang rasional dan self-interest, yang akan memaksimalkan keuntungan bagi dirinya. Keuntungan ini bukan semata-mata keuntungan ekonomi yah, bisa juga keuntungan atau kepuasan secara psikologis maupun spiritual. Dalam teori ini, tidak ada perbedaan antara manusia ekonomi, manusia politik, dan manusia romantik. Semuanya mempunyai perilaku yang dimotivasi oleh pilihan rasional dan self-interest, keinginan untuk memaksimalkan keuntungan atau kepuasan bagi dirinya. Bahkan seorang Hitler pun bisa dikatakan seorang yang bertindak secara rasional.

Tentu saja teori ini mendapat kritik. Steven Kelman misalnya, menulis artikel dalam menanggapi pemberian hadiah Nobel di bidang ekonomi kepada James Buchanan pada tahun 1986 atas karyanya, Public Choice theory. Dalam artikelnya yang berjudul “Public Choice and Public Spirit”, Kelman berargumen bahwa teori public choice mengabaikan “the ability of ideas to defeat interests, and the role that public sprits plays in motivating the behavior of participants in the political process.” Public spirit diartikan oleh Kelman sebagai perilaku yang dimotivasi oleh keinginan untuk memilih good public policy, kebijakan publik yang baik. Dia mengakhiri artikelnya dengan mengatakan, “If the norm of public spirit dies, our society would look bleaker and our lives as individuals would be more impoverished. That is the tragedy of public choice."

Terlepas dari kritik tersebut, beberapa ekonom mendapat hadiah Nobel di bidang ekonomi atas karya mereka yang sejalan dengan teori Public Choice, seperti George Stigler pada tahun 1982 dan Gary Becker pada tahun 1992. George Stigler misalnya, dalam artikelnya yang berjudul “The Theory of Economic Regulation” membuat tesis bahwa “as a rule, regulation is acquired by the industry and is designed and operated primarily for its benefit.” Sementara Gary Becker dalam “Nobel Lecture: The Economic Way of Looking at Behavior” mengatakan bahwa dia membuat metode analisis dengan berasumsi bahwa “individuals maximize welfare as they conceive it, whether they be selfish, altruistic, loyal, spiteful, or masochistic. Their behavior is forward-looking, and it is also assumed to be consistent over time.” Becker misalnya menggunakan metode analisis ini dalam “Economics of Crime and Punishment” yang menjelaskan bahwa orang melakukan kejahatan karena melihat bahwa keuntungan kejahatannya lebih besar daripada peluang tertangkap, peluang dijatuhi hukuman, dan berat hukuman yang diberikan. Yah, teori ini juga isa menjelaskan mengapa perilaku korupsi di Indonesia masih terus terjadi!  

Kembali ke materi seminar yang disampaikan oleh Prof. Munger, beberapa tesis berdasarkan teori Public Choice adalah:

  • Bisnis berusaha untuk memaksimalkan keuntungan.
  • Politikus berusaha untuk memaksimalkan kekuasaan, termasuk terpilih atau terpilih Kembali dalam pemilu.
  • Para pemilih atau warga adalah orang-orang yang tidak terinformasi dan terorganisir dengan baik (sesuai dengan collective action problem yang diteorikan oleh Mancur Olson.

Secara Bersama, ketiga tesis ini mempunyai implikasi: “capitalism is unsustainable and always convert to cronyism, especially in democarices.” Croynism diartikan sebagai sistem sosial dimana pemerintah secara agresif mengintervensi ekonomi, biasanya dengan instrument politik – seperti kuota import, tarif, subsidi atau bahkan monopoli – yang menguntungkan perusahaan besar dengan mengorbankan usaha-usaha kecil dan masyarakat secara umum.

Dengan gamblang, Prof. Munger mengatakan bahwa politikus memang tidak pernah berpikir tentang apa yang baik bagi warga. Kenyataan yang memilukan. Kita juga bisa melihat hal tersebut secara umum, walaupun tidak bisa mengatakan semuanya seperti itu. Politikus mempunyai simbiosis mutualisme dengan pengusaha dan korporasi besar. Dalam demokrasi, mereka menjadi kroni, karena saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Yang terlindas adalah warga biasa dan para pengusaha kecil. Disinilah kapitalisme (bahkan demokrasi?) menemukan kematiannya. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun