Profesionalitas vs Fasisme: Tantangan Kebebasan dan Integritas
Oleh: Andreansyah Ahmad (Buruh Tambang Nikel Pulau Obi)
Di tengah perubahan sosial yang cepat dan dinamika politik yang kian kompleks, tema
kebebasan dan integritas dalam konteks profesionalitas semakin sering diperbincangkan.
Munculnya fenomena kontrol ketat, baik di lingkungan kerja maupun di ruang publik,
membawa kita untuk melihat kembali perdebatan antara profesionalitas dan fasisme. Apa
sebenarnya hubungan kedua konsep ini, dan mengapa seringkali terlihat bertentangan?
Di satu sisi, profesionalitas adalah konsep yang mengedepankan kompetensi, etika, dan
tanggung jawab dalam pekerjaan. Profesionalisme mendorong kita untuk menghormati nilai-
nilai objektivitas, kualitas, dan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya,
fasisme sebagai ideologi menekankan kontrol total, penyeragaman, dan penundukan individu
pada satu kepentingan atau tujuan bersama yang disetir oleh otoritas. Fasisme sering kali
disertai dengan penindasan terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan hak-
hak individu.
Meskipun pada pandangan pertama tampak tidak berhubungan, ternyata konflik antara
profesionalitas dan fasisme semakin relevan dalam konteks kerja dan kehidupan modern.
Banyak organisasi, demi alasan efisiensi atau stabilitas, mulai menerapkan bentuk kontrol
yang ketat dan bahkan mengekang kebebasan berpendapat. Seringkali, pegawai diharapkan
untuk "tunduk" dan "taat" terhadap peraturan perusahaan yang absolut, yang terkadang tidak
selaras dengan integritas dan kebebasan profesional.
Profesionalitas dalam Perspektif Kebebasan
Profesionalitas yang sebenarnya mengacu pada penerapan keahlian, integritas, dan tanggung
jawab individu dalam bekerja. Menjadi profesional berarti dapat menjalankan tugas tanpa
harus ditekan, memiliki kebebasan untuk berpendapat atau mengkritik demi perbaikan, dan
menjalankan prinsip-prinsip etika dengan jujur.
Lingkungan kerja yang sehat mendukung profesionalitas dengan memberikan ruang untuk
dialog, kritik, dan inisiatif individu. Misalnya, seorang profesional harus memiliki hak untuk
memberikan masukan atas kebijakan yang dianggap tidak tepat atau kurang efektif, tanpa
takut mendapat tekanan atau sanksi dari pihak manapun. Kebebasan seperti ini
memungkinkan terciptanya lingkungan kerja yang inovatif, dinamis, dan adaptif terhadap
perubahan. Dalam konteks inilah profesionalitas menjadi bentuk tanggung jawab yang
didasarkan pada prinsip-prinsip integritas dan transparansi.
Namun, dalam praktiknya, seringkali profesionalitas tidak berjalan mulus. Banyak organisasi
mengabaikan prinsip ini dan justru menciptakan atmosfer kerja yang represif. Alih-alih
memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, beberapa perusahaan atau institusi justru
memberlakukan kontrol yang ketat, bahkan tidak jarang mengekang suara-suara yang kritis.
Di sinilah fasisme, dalam bentuknya yang lebih halus, mulai merambah ke dunia profesional.
Fasisme Tersembunyi dalam Dunia Kerja
Fasisme pada dasarnya adalah suatu sistem yang menginginkan kontrol total terhadap
individu, yang tidak hanya melibatkan aspek politik tetapi juga sosial, budaya, dan ekonomi.
Dalam lingkungan kerja, fasisme dapat muncul dalam bentuk aturan-aturan kaku yang
membatasi karyawan untuk berpikir bebas, berdialog, atau menyuarakan pendapat.
Misalnya, dalam beberapa perusahaan, karyawan dituntut untuk selalu "setuju" dengan
kebijakan manajemen tanpa adanya ruang kritik. Ketika seseorang dianggap terlalu kritis,
tidak jarang ia dianggap "tidak loyal" atau "tidak sejalan" dengan perusahaan. Di sisi lain,
standar profesionalitas yang diterapkan seolah-olah menjadi pembenaran untuk memaksa
karyawan agar berperilaku sesuai dengan "nilai-nilai" perusahaan, meskipun mungkin
bertentangan dengan pandangan pribadi atau profesional mereka.
Fenomena seperti ini mengarah pada budaya "penyeragaman" di mana individu dipaksa
untuk mengesampingkan kepribadian, pandangan, dan kebebasan berpikir mereka demi
menjaga "kesatuan" dan "kestabilan" organisasi. Efeknya, karyawan kehilangan motivasi dan
inisiatif, menghambat kreativitas, dan menurunkan produktivitas. Pada akhirnya, ketika
profesionalitas dipaksa untuk tunduk pada sistem yang represif, kualitas kerja dan integritas
individu menjadi korbannya.
Tantangan dalam Menjaga Integritas Profesional
Integritas adalah aspek penting dalam profesionalitas yang melibatkan kejujuran,
transparansi, dan konsistensi antara nilai pribadi dengan nilai profesional. Seorang
profesional yang berintegritas akan selalu memegang prinsip kebenaran, sekalipun berisiko
menghadapi tekanan atau penolakan.
Namun, tantangan terbesar dalam menjaga integritas di lingkungan yang bersifat fasis adalah
adanya ancaman langsung maupun tidak langsung terhadap kebebasan berpendapat. Di
beberapa organisasi, karyawan sering kali merasa terintimidasi untuk menyuarakan
kebenaran, terlebih ketika menyangkut isu-isu sensitif yang mungkin "mengguncang"
stabilitas organisasi.
Ironisnya, tekanan semacam ini justru menciptakan "kehilangan" nilai profesionalitas yang
sangat dijunjung tinggi. Ketika individu dipaksa untuk tunduk pada aturan yang cenderung
represif, mereka kehilangan hak untuk menunjukkan integritas, bahkan mungkin harus
melanggar prinsip etika demi "menyelamatkan" posisi mereka. Kebijakan semacam ini pada
akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan antara profesionalitas dan fasisme yang
membahayakan iklim kerja dan kesejahteraan karyawan.
Solusi Menuju Profesionalitas yang Berintegritas
Menciptakan keseimbangan antara profesionalitas dan kebebasan di lingkungan kerja
bukanlah hal yang mudah, terutama ketika kita berhadapan dengan organisasi yang sangat
terstruktur dan hierarkis. Namun, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk
mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan menghargai kebebasan
berpendapat:
1. Penerapan Kepemimpinan Terbuka: Organisasi harus mempromosikan kepemimpinan
yang terbuka terhadap kritik dan masukan, di mana setiap karyawan merasa nyaman
untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dihukum. Kepemimpinan yang transparan
mampu membangun rasa percaya dan menciptakan budaya kerja yang sehat.
2. Penghargaan terhadap Inisiatif dan Kreativitas: Profesionalitas yang sejati seharusnya
memberi ruang bagi kreativitas dan inisiatif individu. Organisasi perlu menciptakan
iklim yang mendukung inovasi dan menghargai kontribusi setiap karyawan.
3. Penguatan Nilai Etika dan Integritas: Menyusun kode etik yang jelas dan menegakkan
integritas merupakan langkah penting dalam mencegah munculnya "fasisme" di
lingkungan kerja. Karyawan harus didorong untuk memegang prinsip-prinsip etika dan
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai profesional tanpa rasa takut.
4. Penerapan Evaluasi yang Adil dan Objektif: Evaluasi kinerja harus didasarkan pada
objektivitas, bukan loyalitas atau kesetiaan buta terhadap perusahaan. Dengan
pendekatan yang adil, karyawan dapat merasa dihargai atas profesionalisme mereka,
bukan hanya karena mereka mematuhi aturan.
Pada akhirnya, profesionalitas yang berintegritas membutuhkan kebebasan yang sehat dan
lingkungan kerja yang mendukung. Menyeimbangkan profesionalitas dengan kebebasan dari
pengaruh fasisme menjadi tantangan utama dalam menciptakan tempat kerja yang benar-
benar menghormati individu sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H