Mohon tunggu...
Andrean Masrofie
Andrean Masrofie Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa S1 Universitas Nurul Jadid

Bergerak Dalam Lingkup Organisasi (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) PMII Universitas Nurul Jadid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PMII sebagai Identitas Pergerakan

26 Maret 2020   13:15 Diperbarui: 26 Maret 2020   13:17 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Organisasi ialah sebuah wadah perkumpulan orang-orang yang saling berkerja sama untuk mencapai suatu tujuan secara kolektif. Di lain sisi organisasi juga menjadi wadah bagi para mahasiswa, khususnya, untuk mencari ilmu, pengalaman, dan pengembangan jati diri. Salah satunya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Organisasi kemahasiswaan yang lahir pada 17 April 1960 di Surabaya ini, lahir karena carut marutnya kondisi perpolitikan bangsa pada tahun 1950-1959 di masa Orde Baru (Orba). Dengan berlandaskan Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai manhajul fikr (metodologi berfikir) dan manhajul harakah (metodologi bertindak/bersikap).
Diantaranya, tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), dan ta'adul (keadilan). 

Selain dari ke-empat dasar Aswaja tersebut, PMII yang hadir sebagai identitas pergerakan mahasiswa nahdiyin untuk menjawab pelbagai persoalan bangsa dan Negara, juga menjadikan Nilai Dasar Pergerakan (NDP), sebagai landasan bergerak. Yaitu, Hablun min Al-Allah (Hubungan dengan Allah), Hablun Min Al-Nash (Hubungan dengan sesama manusia), Hablun Min Al-Alam (Hubungan dengan Alam).

Tanpa kita sadari, mahasiswa, khususnya kader PMII saat ini, telah terjangkit virus sifat sindrome pragmatisme, gaya hidup serba hedon dan budaya konsumerisme. Hal ini menyebabkan pada pola hidup yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi saja; bagaimana cepat selesai kuliah, bekerja dan membahagiakan keluarga, dan lain sebagainya. Tipikal pemuda seperti ini secara tidak langsung memaknai kehidupan secara sempit.
Dalam hal literasi dan keilmuan, mahasiswa juga cenderung acuh tak acuh. Kuliah dan mendapat niilai IPK tinggi menjadi prioritas utama. Sementara membaca, diskusi, menulis dan menyuarakan aspirasi masyarakat, perlahan ditinggalkan.

Salah satu faktornya, teknologi dan budaya modern. Dua hal ini memiliki peranan penting dalam mencetak mental serta idealisme Mahasiswa/Kader di zaman sekarang, yang kian hari, kian bobrok. Padahal jika perkembangan teknolgi dan budaya modern dapat dimanfaatkan dengan baik, di mana buku-buku dan segala bentuk ilmu pengetahuan lainnya mudah didapat, akan menjadi instrumen produktifitas ilmu pengetahuan dan gerakan mahasiswa/kader saat ini.

Seperti apa yang disampaikan oleh Wakil ketua Majelis permusyawarat rakyar Republik Indonesia, Hidayat Nur Wahid, "Kita semua baik dikalangan aktifis dan mahasiswa dibuka ruang untuk berperan serta. Kita semua bisa berperan untuk kebangkitan bangsa dan Negara ini. kalangan intelektual bisa membaca peluang tersebut, hal itu sangatlah penting bagi generasi sekarang dan yang akan datang. 

Karena itu tidak sekedar jas merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah seperti kata Bung Karno, tetapi juga jas hijau yaitu jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama' atau umat muslim, organisasi islam termasuk organisasi kepemudaan islam. Karena itu berorganisasi jangan dimubazirkan tapi menjadi sarana dan wahana bagi mahasiswa untuk berperan serta memajukan Negara ini".

Bahwa mahasiswa, khususnya kader PMII tidak hanya hadir sebagai identitas pergerakan saja, melainkan hadir untuk menjawab semua problematika yang terjadi  di Negara kita. Bergerak di dalam kubangan PMII berarti bergerak secara totalitas, Karena sebagai organisasi gerakan tidak  hanya melakukan pengawalan terhadap persoalan-persoalan di sekitar kampus. Akan tetapi, juga harus mampu melawan ledakan arus globalisasi yang  kian menghimpit struktur masyarakat.

Maka upaya-upaya untuk menanamkan kembali komitmen serta paragdigma kritis transformatif pada setiap kader, harus diutamakan. Agar, setiap kader memiliki daya tawar dalam menyumbangkan sebuah gagasan metodologi pemikiran islam yang baik, yang berlandaskan pada nilai-nilai Aswaja.

Dengan demikian, mahasiswa/kader sebagai agent of change (agen perubahan) bisa mengubah tatanan  sosial atau organisasi ke arah yang lebih baik. Sebagai agent of knowledge (agen pengetahuan). Mahasiswa/kader juga bisa menerapkan ilmu yang didapat kepada masyarakat dan sosial, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun