Mohon tunggu...
Andre
Andre Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

belajar belajar belajar

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dahulukan Pembebasan Pemikiran Sebelum Pembebasan Tanah

17 Oktober 2024   21:07 Diperbarui: 17 Oktober 2024   21:15 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

 

Dalam sejarah perjuangan manusia, pembebasan tanah seringkali dianggap sebagai simbol paling nyata dari kemerdekaan. Tanah, sebagai sumber kehidupan dan kekayaan, telah menjadi objek perebutan dalam berbagai perang, revolusi, dan konflik politik. Namun, ketika kita mempertimbangkan kebebasan dalam arti yang lebih mendalam, pembebasan pemikiran seharusnya didahulukan daripada pembebasan tanah. Ini karena kemerdekaan fisik dan penguasaan atas wilayah tidak akan bermakna tanpa kemerdekaan intelektual dan kebebasan berpikir. Tanpa kebebasan berpikir, manusia menjadi terpenjara oleh dogma, prasangka, dan manipulasi, bahkan ketika mereka memiliki tanah yang luas di bawah kendali mereka.

Pembebasan pikiran inilah yang belum didapatkan oleh warga dunia. Genosida Israel terhadap warga Gaza di Palestina yang disebut dengan peristiwa 7 oktober 2023 masih berlanjut sampai detik ini (17/10/2024), hal tersebut menunjukkan betapa terpuruknya akal pikiran manusia. Peristiwa 7 Oktober bukanlah hal yang pantas diperdebatkan terkait pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah, dalam peristiwa tersebut jelas sekali bahwa pembantaian yang dilakukan oleh Israel bukanlah suatu hal yang lazim untuk dilakukan. Pembantaian yang tidak memandang bulu sama sekali, bangunan dan rumah-rumah warga yang terus di bombardir oleh tentara-tentara Israel, bahkan tempat pengungsian yang mereka sebut sebagai daerah yang tidak akan mereka serang, sekarang  dibumihanguskan oleh mereka sendiri. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, tidak sedikit dari warga Palestina yang mati, bahkan angka kematiannya telah melampaui 42.000 dan 14.000 diantara korban-korban tersebut adalah anak-anak.

Pembebasan pikiran harus menjadi prioritas utama sebelum pembebasan tanah, karena dalam banyak konflik, yang sesungguhnya dijajah bukan hanya mereka yang kehilangan tanah, tetapi kita semua yang masih terbelenggu oleh narasi dan propaganda yang membutakan hati dan pikiran kita. Genosida yang terjadi di Gaza pada 7 Oktober 2023 bukan sekadar tragedi yang menimpa warga Palestina, melainkan merupakan krisis kemanusiaan yang mencerminkan betapa dunia telah gagal mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, kita juga dijajah---bukan secara fisik, tetapi dalam cara kita berpikir dan memahami situasi ini.

Ketika kita gagal merespon dengan rasa kemanusiaan terhadap penderitaan yang begitu jelas, kita menjadi korban dari penjajahan mental yang lebih berbahaya: dogma, prasangka, dan ketidakpedulian. Kita terperangkap dalam kebisuan, seolah-olah tragedi ini hanya masalah lokal atau terbatas pada agama tertentu. Padahal, genosida di Gaza bukan sekadar masalah umat Muslim, tetapi merupakan masalah kemanusiaan yang menyentuh setiap hati nurani yang masih peduli akan nilai kehidupan. Saat satu kelompok manusia diperlakukan dengan begitu keji, diamnya kita sebagai bagian dari masyarakat global menunjukkan bahwa kemerdekaan pikiran belum benar-benar kita capai.

Dunia harus menyadari bahwa apa yang terjadi di Gaza bukan hanya soal wilayah atau tanah yang diperebutkan. Ini adalah cerminan dari betapa rusaknya peradaban kita ketika kita mengizinkan kekejaman dan kekerasan seperti ini berlangsung tanpa reaksi. Kita harus membebaskan diri dari penjajahan pikiran yang membuat kita acuh tak acuh. Setiap orang, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis, memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung mereka yang tertindas. Bentuk dukungan ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti aksi solidaritas, penyebaran informasi, hingga bantuan kemanusiaan. Ini bukan sekadar ranah muslim, tetapi masalah seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, pembebasan pemikiran adalah langkah pertama dalam melawan ketidakadilan. Genosida yang terjadi di Gaza adalah panggilan bagi kita semua untuk bangkit dari penjajahan mental yang membuat kita tidak berdaya dan tidak peduli. Setiap orang di seluruh dunia, terlepas dari agama atau bangsa, harus merasakan panggilan kemanusiaan ini. Rasa kemanusiaan kita harus dihidupkan kembali, karena tanpa itu, kita telah kehilangan esensi dari apa artinya menjadi manusia.

Kita harus menolak kebungkaman dan ketidakpedulian, dan mulai bertindak untuk mendukung keadilan bagi semua manusia yang tertindas. Bentuk dukungan apa pun, sekecil apa pun, adalah langkah menuju kebebasan, bukan hanya bagi mereka yang tertindas di Gaza, tetapi juga bagi kita sendiri---dalam membebaskan pikiran kita dari ketidakpedulian dan ketidakadilan yang terus berlangsung. Ini bukan hanya pertarungan mereka; ini adalah perjuangan kita bersama, sebagai satu umat manusia yang menghargai kehidupan, keadilan, dan kemerdekaan sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun