Penulis: Andrea Kurniawan, Mahasiswi Prodi Bioteknologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) menyebar dengan cepat sehingga pada tanggal 29 Maret 2020 sudah ditemukan 634,835 kasus dan 33,106 angka kematian. Dari sekian banyaknya kasus di dunia, sebanyak 1,528 kasus dan 136 jumlah kematian ditemukan di Indonesia (Susilo et al. 2020). Angka tersebut pastinya meningkat dengan bertambahnya waktu. Sudah 2 tahun lamanya sejak pandemi COVID-19 melanda, tetapi dunia belum bisa menemukan solusi untuk wabah ini. Oleh karena virusnya yang cepat bermutasi dan beradaptasi, diperlukan banyak tenaga kerja dalam bidang medis untuk menyelesaikannya.
Meskipun angka yang kian meningkat, kerja keras dari berbagai kalangan akademisi dan pihak pemerintahan yang berwewenang tentunya membuahkan hasil. Salah satunya berwujud dalam bentuk vaksin mRNA Pfizer-BioNTech dan Moderna yang menggunakan teknologi yang relatif baru jika dibandingkan dengan jenis vaksin lainnya, termasuk vaksin virus yang dilemahkan yang masih memberikan gejala ringan, vaksin patogen dengan virus yang diinaktifkan dan vaksin yang berisi hanya sebagian dari patogen yakni antigen.
Cara vaksin bekerja
Untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas mengenai caranya vaksin bekerja, kita harus mengenali sistem pertahanan tubuh manusia terlebih dahulu. Sistem pertahanan tubuh manusia seperti medan perang yang berjalan tanpa akhir. Setidaknya, sampai tubuh gagal berfungsi. Ketika sebuah virus masuk ke dalam tubuh, hal pertama yang ia lakukan adalah menempel ke sel kita karena virus sendiri tidak mempunyai mekanisme untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, semua virus bersifat obligat parasit. Setelah virusnya melekat ke sel, dia akan menginjeksikan materi genetik yang dapat berupa DNA atau RNA sehingga sel kita akan membuat salinan dari DNA/RNA tersebut. Salinan yang sudah dibuat berlimpah akan menginfeksi ke sel tubuh lainnya sehingga seluruh tubuh terinfeksi. Tetapi mengingat bahwa tubuh kita mempunyai pertahanan yang kuat, virus tidak akan seenaknya menyerang. Sel darah putih, sel T dan sel B tentunya bermain perannya masing-masing dalam mengatasi invasi ini. Sel B memproduksi antibodi yang bertindak sebagai prajurit untuk menyerang virus penyusup, tetapi untuk mendapatkan respon tersebut, dibutuhkan waktu beberapa hari untuk mempelajari “strategi perang” penyusup. Sementara, proses replikasi DNA/RNA virus berjalan tanpa henti dan dengan cepat. Oleh karena itu, tubuh akan mulai mengalami gejala dari spektrum ringan sampai berat tergantung dengan kondisi tubuh kita pada hari terinfeksi. Ide vaksin secara garis besar adalah melatih sistem kekebalan tubuh untuk mengenali virus sebelum infeksi terjadi. Vaksin mRNA, khususnya bekerja dengan cara mengkode protein spike/protein yang berada pada permukaan virus sehingga tubuh dapat mengenalinya. Jika amit-amit terinfeksi, sel B memori pada tubuh kita dapat mengingat kembali bentuknya, memproduksi antibodi dan menyerangnya, jadi tidak perlu menunggu beberapa hari untuk membentuk respon. Protein spike tentunya tidak akan membuat pasien sakit karena merupakan hanya sepotong dari virusnya dan bukan seluruhnya.
Apa itu vaksin mRNA?
Untuk mengetahui apa itu vaksin mRNA, perlu diketahui apa itu mRNA. mRNA adalah sebuah pembawa informasi genetik yang menjadi perantara antara DNA dan protein dalam tubuh kita yang dirangkai dari beberapa asam amino. Saat ini, vaksin mRNA ada dua jenis termasuk non-replicating dan self-amplifying.
Non-replicating Vs Self-amplifying
Seperti yang terlihat dari namanya, yang membedakan dua jenis vaksin mRNA tersebut adalah kemampuannya untuk mereplikasi dirinya sendiri. Pada vaksin mRNA konvensional (non-replicating), antigen yang mengandung 5′ dan 3′ untranslated region (UTRs) dikodekan, sedangkan pada vaksin mRNA self-amplifying, mesin replikasi dari virus juga ikut dikodekan. Hal tersebut memungkinkan amplifikasi RNA intraseluler dan ekspresi protein yang melimpah (Pardi et al. 2018). Keuntungan dari menggunakan vaksin mRNA yang bersifat non-replicating adalah kesederhanaannya, ukuran RNA yang kecil, dan ketidakberadaan tambahan protein yang dikodekan. Penambahan protein yang dikodekan dapat menginduksi respons imun yang tidak diinginkan. Untuk kasus self-amplifying, keuntungannya adalah menghasilkan ekspresi antigen yang tinggi dari dosis vaksin yang relatif rendah karena ada RNA dependent RNA polymerase (RdRp) (Rauch et al. 2018).