Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia yang juga pernah terjun dalam dunia politik dan mengemban tugas sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama.
Buya Hamka yang lahir di Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, tumbuh besar dalam didikan keluarga Islam dan hanya menamatkan pendidikan formal hingga jenjang kelas dua SD. Setelah itu, dirinya memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib, Padang Panjang yang merupakan sekolah Islam yang didirikan ayahnya.
Dari tempat itulah, perjalanannya mendalami agama Islam dan Arab berawal hingga akhirnya pada 1927 Buya Hamka memutuskan untuk memulai karirnya sebagai guru agama di berbagai daerah Indonesia seperti Medan dan Padang serta mendirikan Madrasah Mubalighin.
Pada tahun yang sama layaknya latar waktu yang diambil Buya Hamka dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah, beliau memutuskan untuk pergi ke Mekkah dengan tujuan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab.
Secara tidak sengaja, beliau bertemu dengan Agus Salim, yang memberinya saran untuk kembali dan mengembangkan karir di Indonesia. Akhirnya, Buya Hamka memutuskan untuk kembali ke Tanah Air, setelah tujuh bulan dirinya menetap di Mekkah.
Diketahui bahwa sebelumnya Buya Hamka telah memulai karir sebagai seorang wartawan, editor dan penulis sejak tahun 1920, dimana pada saat itu, dirinya merupakan seorang wartawan aktif di beberapa tempat. Setelah kembali ke Indonesia, beliau bekerja sebagai editor dan penulis, yang berhasil menerbitkan majalah serta karya ilmiah Islam yang salah satunya adalah novel Di Bawah Lindungan Ka’Bah.
Perjalanan karir beliau berhasil membawanya hingga meraih banyak penghargaan seperti anugerah kehormatan “Doctor Honoris Causa” dari Universitas Al-Azhar.
Apabila diperhatikan lebih mendalam, cerita yang terdapat dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah memiliki kemiripan dengan kisah hidup sang penulis. Pengalaman yang dialami Hamid dalam cerita, memiliki kronologi kejadian yang mirip layaknya pengalaman nyata Hamka dalam hidupnya. Mulai dari kisah lahir dan tumbuh besar di tanah Sumatera Barat pada era tahun 1900-an dari keluarga Muslim, kehidupan seorang pemuda yang harus tinggal bersama salah satu orang tuanya, hingga pemuda yang harus merantau bahkan hingga ke Mekkah. Tidak sampai disitu, kemiripan selanjutnya yakni keduanya memiliki pengalaman serupa, dimana mereka jatuh sakit di Mekkah yang membuat Hamka sempat berpikir dirinya akan menemui ajal di tanah suci itu.
Dengan latar belakang ajaran agama Islam yang tertanam pada diri Hamka sejak kecil, tidak heran jika dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah suasana keagamaan terasa sangat kental selama penceritaannya.
Terlebih lagi, selain berlatar tempat di Indonesia, buku ini juga mengambil latar tempat di tanah suci Mekkah, Arab Saudi. Dalam buku dapat ditemukan penggunaan kata yang merujuk pada ajaran maupun hal yang berkaitan dengan agama Islam, seperti kata tasawuf, thawaf dan I’tikaf. Kata-kata yang muncul dalam buku dapat mewakilkan ajaran dan kegiatan dalam agama Islam, maupun benda yang masih berhubungan dengan atribut keagamaan, seperti kata kiswah yang berartikan kain tabir yang melindungi Ka’bah.
Salah satu ajaran Islam yang dimunculkan dalam buku, yakni perihal keadilan dalam cinta sebagaimana disebutkan dalam salah satu dialog Ibu Hamid, yang berbunyi “Memang Anak, …cinta itu ‘adil’ sifatnya, Allah telah menakdirkan dia dalam keadilan, tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja dengan orang minta-minta, tiada menyisihkan orang kaya dengan orang miskin, orang hina dengan orang mulia, bahkan kadang-kadang tiada juga berbeda baginya antara bangsa dengan bangsa…” Tidak hanya memunculkan ajaran agama Islam, dalam dialog yang sama, Hamka juga menyinggung tentang hukum alam yang berlaku bagi manusia yakni “....Tetapi aturan pergaulan hidup, tidak membiarkan yang demikian itu berlaku.