Mohon tunggu...
FIRITRI
FIRITRI Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Penulis Mojokerto, Blogger dan Pembawa Acara yang tertarik dalam Human Interest, Budaya serta Lingkungan

Penulis, Penulis Mojokerto, Blogger dan Pembawa Acara yang tertarik dalam Human Interest, Budaya serta Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Infanteri dengan Berjalan Miring

15 Desember 2019   20:37 Diperbarui: 15 Desember 2019   20:43 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri
Hari ini adalah Hari Juang Kartika. Yang memperingati peristiwa Palagan Ambarawa. Pertempuran besar dan hebat ini berhasil mengalahkan Inggris dan Jepang berkat formasi supit urang yang diterapkan Kolonel Sudirman.

Infanteri adalah serdadu yang berjalan kaki. Setelah kemerdekaan hampir semua tentara masih berjalan kaki karena aset rampasan dari Jepang seperti pesawat, meriam dan kendaraan lapis baja hanya sedikit yang dapat mengoperasikan.

Saya tidak membahas itu tetapi saya akan bercerita sedikit tentang Strategi Infanteri di Mojokerto dengan berbagai kesulitan yang ada salah satunya adalah kesulitan "pemahaman" terhadap agama.

Dalam foto saya ini ada buku Bulan Sabit dan Matahari Terbit dan di sana diceritakan bagaimana peran ulama yang memasukkan para ulama dan santri ke dalam klan-klan militer Jepang demi persiapan kemerdekaan RI.

Para ulama dan santri yang sudah mendapatkan pemahaman agama tingkat tinggi serta pendidikan militer memang mudah dalam melakukan operasi militer. Masalah utama adalah para santri adalah pemahaman dangkal tentang mati syahid. Banyak santri yang saat itu menjadi laskar Hizbullah memahami jika dalam pertempuran yang dicari adalah "mati" agar dapat mudah ke Surga.

Para Ulama pusing. Perang yang dicari adalah kemenangan, jika semua memilih mati, maka pasukan akan semakin habis dan kemenangan tidak akan tercapai yang artinya kemerdekaan tidak terwujud. Padahal yang dinamakan Mati Syahid itu adalah berusaha memenangkan pertempuran, berusaha untuk tidak terbunuh tetapi jika sudah berusaha masih terbunuh itu dinamakan mati syahid. Bukan ingin mati.

Untuk memberikan pemahaman para serdadu yang semuanya adalah santri ini butuh waktu agak panjang sedangkan Belanda semakin mendekat.

Masalah itu akhirnya terjawab saat Markas Oelama Djawa Timur (MODT) mendapat kunjungan Kyai Wahid Hasyim. Pak Wahid (sapaan KH Wahid Hasyim) meninjau kesiapan Laskar Hizbullah yang ada di garis depan front pertahanan RI. Mayor Moenasir yang ikut menerima kunjungan itu menjelaskan tentang taktik unik anak-anak Hizbullah Mojokerto.

Kantor MODT ini dulu adalah kantor pengawal Asisten Residen Mojokerto dan seakarang digunakan sebagai markas Polisi Militer Korem 082 Citra Panca Yudha Jaya (CPYJ). Para Kyai menempati gedung untuk berkoordinasi secara berkala untuk membahas situasi dan laporan dari daerah-daerah.

Kunjungan pada waktu itu sekitar tahun 1946 di kantor MODT yang terletak di timur alun-alun Mojokerto. MODT merupakan lembaga yang dibentuk oleh NU Jawa Timur yang bertujuan membantu perjuangan, khususnya mendukung kegiatan laskar Hizbullah dan Sabilillah di medan perang Jawa Timur. Hizbullah di daerah Mojokerto dan sekiratnya sedangkan Sabilillah di daerah Malang dan sekitarnya.

MODT diketuai oleh kyai Bisri Jombang, kemungkinan nama itu adalah Mbah Kyai Bisri Syamsuri dengan anggota beberapa kyai dari daerah-daerah di Jawa Timur.Pertemuan ini diadakan di Mojokerto karena Mojokerto adalah tempat paling strategis untuk Belanda dalam memperluas teritorinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun