Semakin moncernya nama Jokowi sebagai calon Presiden yang diusung PDIP mengundang banyak perdebatan di berbagai media. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Lovers vs haters. Kedua pihak terlihat sama keukeuhnya, sama militannya dan makin lama kelihatannya makin sama irrasionalnya.
Serangan terhadap Jokowi di dunia maya cukup gencar dan dilakukan sering dengan tanpa data yang valid, argumen tidak masuk akal dan ngawur. Contohnya akun Aan Andriansyah di Kompasiana yang sudah dibanned tapi arwahnya terus gentayangan dengan komen copy paste yang itu-itu saja. Contoh terbaru adalah serangan lewat Twitter dari penentang Jokowi yaitu angota DPR dari PKS Fachri Hamzah yang mengungkit-ungkit “dosa” Megawati saat memerintah (2002 – 2004) dengan menjual “asset” bangsa seperti Indosat, Gas tangguh & VLCC. Dari Pendukung Jokowi datang pembelaan, contohnya di Kompasiana ini adalah Bapak Arloren Antony dengan tulisannya : Surat terbuka untuk Wasekjen PKS, Fahri Hamzah,SE.
Dalam tulisannya pak Arloren membela mati-matian kebijakan Megawati untuk membela Jokowi. Sayangnya saya lihat beliau juga melakukan pembelaan cenderung asal membela tanpa data yang valid. Penjualan Indosat disebut sebagai sudah seharusnya karena pemerintah menjual asset yang tidak produktif sehingga menjadi liability. Kalau kita membuka lembaran masa lalu tentu masih banyak yang ingat bahwa Indosat adalah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang Emerging Industry yaitu bidang telekomunikasi. Kinerja perusahaan itupun cukup baik dengan membukukan laba bersih 1.452,8 Milyar rupiah pada tahun 2001 (sebelum dijual). Kalau pemerintah ingin membuang liabilities tentu yang seharusnya dijual adalah Pertamina & PLN yang hingga 2001 terus membukukan kerugian sehinga menjadi liabilities dan bukannya Indosat yang jelas-jelas adalah asset karena terus membukukan keuntungan. Penjualan Indosat adalah menjual bebek bertelur emas dan semakin lama sang bebek kelihatan semakin sehat dan telurnya semakin banyak. Sayangnya telur2 emas tersebut tidak lagi jadi milik rakyat Indonesia melainkan milik orang asing.
Yang kedua adalah soal penjualan Gas Tangguh dimana Pemerintahan Megawati lagi-lagi membuat blunder besar dengan menjual secara obral. Masih belum cukup, ditambah lagi dengan kontrak jangka panjang selama 25 tahun dengan harga flat 3,35 US$/MMBTU. Padahal semua orang tahu bahwa Gas adalah energi tidak terbarukan yang akan semakin tinggi harganya di masa depan seiring semakin meningkatnya permintaan dan semakin sedikitnya pasokan. Alasan sulit pembelinya, berarti tidak ada marketer Indonesia yang cukup canggih melobi ? sulit dipercaya. Kalaupun mentok tidak ada negara yang mau membeli dengan harga layak, masih ada option untuk menunggu, tidak usah buru-buru menjual. Keuangan pemerintah memang berdarah-darah akibat BLBI tapi masih mampu bertahan. Tahun 2002 kita memasuki kondisi harga BBM Indonesia = harga Internasional setelah kenaikan harga BBM. Tentu banyak dari kita masih ingat ketika harga Premium saban 2 minggu berubah-ubah mengikuti patokan MOPS (Mean Oil Platts Singapore), kadang naik 50 rupiah kadang turun 25 rupiah. Harga berkisar di Rp. 2500,- per liter Premium. Tahun 2002-2003 adalah saat dimana subsidi BBM sangat rendah (hanya mensubsidi Minyak tanah) dan seharusnya dana subsidi yang terlanjur dianggarkan bisa dipakai untuk menutup defisit yang ada.
Mengenai penjualan kapal tangker VLCC sayat tidak terlalu banyak mengetahui, hanya saja pembeliannya dulu dimaksudkan agar Pertamina bisa mengangkut sendiri Minyak mentahnya. Harga sewa kapal adalah US$21,000 per hari. Begitu Tanker VLCC dijual para pemilik kapal tanker menaikkan sewa hingga US$ 75,000 per hari. Pertamina tidak berdaya dikadali mafia tanker dan terpaksa membayar mahal, padahal kalau kapal masih ada mereka tidak bakal dipecundangi sedemikian rupa. Tidak ada kerugian negara, kapal dijual lebih mahal dari harga belinya, tapi sewa kapal yang semakin mahal berkali lipat tidak dilihat sebagai kerugian Pertamina.
Pemerintahan Megawati 2002 – 2004 adalah kenyataan sejarah dengan berbagai prestasi salah satunya menaikkan nilai rupiah vs US$ hingga 8500 rupiah per dollar dan lain-lainnya. Ada pula kesalahannya seperti yang kita lihat di atas. Apakah itu tindak korupsi ? saya katakan bahwa sebagai eksekutif pemerintahan Megawati berhak melakukan hal tersebut. Ini ranah kebijakan dan suatu kebijakan mempunyai alasan dan kalkulasi sendiri yang mungkin berbeda dengan kalkulasi sebagian rakyat Indonesia. Yang bisa dipidanakan adalah adakah “kickback” dibelakangnya ? Mengingat ketua Team negosiasi Gas Tangguh adalah Mr. First Gentlemen Taufik Kiemas (alm.). KPK (kalau mau) bisa menelusurinya. Kalaupun terbukti ada, kebijakan tidak bisa dibatalkan karena kontrak sudah hitam di atas putih. Tak bisa dibatalkan tanpa penalti yg akan membuat tambah rugi. Namun tentu saja ada konsekuensi dari kebijakan yang salah dan Megawati sudah menerimanya dengan tidak lagi terpilih sebagai Presiden di tahun 2004.
Kembali ke laptop, lalu apa hubungannya dengan Jokowi ? Jokowi memang dicalonkan oleh PDIP atas restu ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri sehingga wajar kalau beliau dikait-kaitkan dengan Pemerintahan Megawati di masa lalu. Bahkan Jokowi sering disebut sebagai boneka Megawati. Namun inilah saatnya kita mengatakan JOKOWI BUKAN MEGAWATI. Tidak perlu banyak argumen dengan memutihkan kesalahan di masa lalu. Yang buruk tetap buruk dan yang baik tetap baik. Cukup kita katakan Pemerintahan Jokowi akan lain dengan Pemerintahan Megawati. Jokowi dengan gayanya yang merakyat, blusukan kesana kemari berbelanja masalah adalah antitesa dari pemimpin2 Indonesia di masa lalu yang cenderung elitis. Jokowi pemimpin merakyat yang altruistis sehingga kita yakin bahwa beliau akan memberi warna yang sama sekali berbeda. Buktikan bahwa Jokowi bukanlah boneka Megawati dan bersama beliau Indonesia menyongsong era baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H