Film adaptasi adalah salah satu bentuk karya seni yang menarik karena mengubah karya sastra menjadi sesuatu yang lebih visual dan hidup dalam penyampaian cerita. Â Salah satu contoh adaptasi yang menarik perhatian adalah film The Architecture of Love, Â diangkat dari novel best-seller berjudul sama karya Ika Natassa yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2016. Novel ini telah cukup populer di kalangan pembaca Indonesia sehingga membentuk basis penggemar yang besar sebelum film tersebut dirilis. Kesuksesan novel dalam mencuri perhatian pembaca membuat proses adaptasi ke layar lebar sangat dinantikan oleh banyak orang.
The Architecture of Love mengisahkan perjalanan hidup Alana (diperankan oleh Putri Marino), seorang wanita muda dengan impian besar untuk menjadi arsitek sukses. Di tengah perjalanan karirnya, Alana terjebak dalam hubungan emosional yang rumit dengan River (diperankan oleh Nicholas Saputra), seorang pria yang ia temui secara kebetulan di New York. Kisah ini tidak hanya mengangkat konflik antara dua karakter utama, tetapi juga mengeksplorasi dilema yang lebih besar antara cinta, ambisi, dan pencarian jati diri. Film ini berfokus pada pilihan-pilihan sulit yang harus dihadapi Alana, baik dalam aspek profesional maupun personal.
Meski premis cerita cukup menarik, adaptasi ini menghadapi tantangan besar dalam mentransformasikan elemen-elemen kuat dari novel ke dalam bentuk film. Salah satu aspek yang mendapat apresiasi adalah visualisasi dunia arsitektur yang menjadi tema utama dalam cerita. Berdasarkan ulasan dari akun X @WatchmenID, film ini berhasil memanfaatkan lokasi dan setting cerita, khususnya di New York, secara optimal. Penempatan latar yang terasa alami memberikan nuansa yang mendalam, tidak terkesan dipaksakan, dan justru memperkuat alur cerita.
Pemilihan Putri Marino sebagai Alana dan Nicholas Saputra sebagai River juga dinilai sangat tepat. Keduanya berhasil menampilkan akting yang memukau, terutama dalam menggambarkan emosi dan dinamika hubungan yang kompleks. Dalam ulasan dari @WatchmenID, disebutkan bahwa chemistry antara keduanya terasa sangat kuat, yang pada akhirnya mendukung alur cerita yang semakin intens. Adegan-adegan emosional yang melibatkan kedua tokoh utama dianggap berhasil menyampaikan konflik batin yang mendalam pengalaman penonton.
Pengelolaan alur cerita adalah salah satu aspek yang banyak dipuji. Film ini dinilai berhasil menjaga ritme sehingga tidak terasa terlalu lambat atau terburu-buru. Formula cerita yang mengungkapkan misteri karakter secara bertahap, seperti diungkapkan dalam ulasan @WatchmenID, menjaga penonton tetap terlibat dan penasaran sepanjang film.
Salah satu kekuatan film ini terletak pada sinematografi yang memukau, terutama dalam penggambaran suasana kota New York, yang menjadi latar utama. Penggunaan lokasi-lokasi ikonik tidak hanya memperkaya estetika visual film, tetapi juga menambah kedalaman cerita. Penonton merasa bahwa penggunaan latar ini sangat efektif dalam menyampaikan pesan emosional yang ingin disampaikan oleh para karakter.
Namun, meskipun banyak aspek yang dipuji, menurut ulasan dari artikel IDN Times, beberapa penonton merasa kecewa karena tidak adanya adegan pernikahan antara Alana dan River, sebuah ekspektasi yang terbentuk sejak awal film. Kritik ini juga diperkuat oleh komentar dari akun X @nymvh, yang mengungkapkan rasa kecewa terhadap pilihan cerita di bagian akhir, terutama mengenai alur yang dinilai tidak memenuhi harapan penonton.
Secara keseluruhan, The Architecture of Love adalah adaptasi film dari novel yang dinilai baik oleh penonton. Meskipun ada beberapa kekurangan seperti ekspektasi yang tidak sepenuhnya tercapai dalam ending cerita, film ini tetap menawarkan pengalaman visual dan emosional yang baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H