Akhir-akhir ini terjadi kesalahan anasir dari pejabat, ormas dan aparat terkait buku uang katanya “kiri”. Walau akhirnya dikoreksi pihak Istana. Toh, itu sempat terjadi dan cukup menyesakan dada. Bagaimana tidak disebuah negara (katanya) demokratis masih ada yang paranoid dengan buku, film dan diskusi.
Leluconnya ” Aparat yang merazia, mungkin tidak pernah baca buku yang dirazianya. Apa lagi menulis buku'”. Jangankan aparat lapangan, mungkin para bosnya di Mabes juga sama”. Namun jangan berburuk sangka, dan yang penting razia buku jangan terjadi lagi. Malu sama Sukarno, Hatta, Gus Dur dan masih banyak tokoh bangsa yang semuanya pembaca dan penulis buku.
Bagi warga Surabaya, tentu pernah dengar Kampung Ilmu di Jalan Semarang. Tempatnya dekat dengan Stasiun KA Pasar Turi. Banyak warung buku disini. Mereka menjual buku bekas dan juga buku bajakan, sayangnya!!. Tidak sulit untuk menemukan buku yang dianggap kiri disini.Terbitan baru atau lama semua ada. Bahkan saya menemukan booklet manifesto partai-partai politik era 65, kumpulan pidato bung Karno tentang Nasakom dan sebagainya. Bahkan buku bajakan karya Pramudya, Gie sampai Dee Lestari ada semua disini.
Lapak jalan Semarang, mau menunjukan hal sederhana “ masyarakat kita sudah mulai gemar membaca”. Geliat baik ini jangan sampai di kebiri. Bukankah lebih baik banyak generasi yang membaca, ketimbang mereka anarkis dan intoleran karena miskin ide dan gagasan. Jadi ada baiknya bos di Mabes, Menhan, Presiden dan semua orang bisa sesekali datang ke lapak buku biar dapat ilmu.
Bangsa yang paranoid, anarkais, fasis (mangandalkan senjata dan aparat) akan berangsur punah. Namun bangsa yang menjamin intelektualitas dan kebudayaan akan tahan, tangguh dan trengginas. (@Andreyuris).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H