Saya berteman dengan Kompasianer Ang Tek Khun di Facebook. Baru saja sore ini Kompasianer tersebut mengumumkan kehilangan HP di jalan dan tidak berhasil menemukannya kembali di area tersebut. Nomor HP akhirnya diblokir hingga waktu yang belum ditentukan. Dengan demikian menurut Kompasianer Khun, dirinya hanya dapat berkomunikasi melalui e-mail dan media sosial (inbox). Bagaimana saya dapat menerima informasi ini ? Tentu saja karena adanya update status yang dilakukan oleh Kompasianer Khun pada akun Facebook-nya.
Tentu saja dari sekian banyak pembaca artikel saya ini ada yang mengalami masa sekurangnya dua puluh lima tahun lalu, ketika telepon umum dan pesawat telepon di rumah/kantor menjadi sangat diandalkan kecepatannya sebagai sarana komunikasi. Telepon umum koin masih banyak dijumpai di tempat umum. Dari telepon umum berbasis koin kemudian dikembangkan yang berbasis kartu telepon umum. Semuanya sangat membantu komunikasi pada masa itu. Penggunaan internet saya perkirakan masih cukup baru pada masa itu.
Tidak lama berselang setelah telepon umum berbasis kartu, terbitlah era baru telepon genggam. Masyarakat semakin menikmati betapa mudahnya berkomunikasi dengan telepon genggam. Bagaimana kabarnya dengan telepon umum yang dulu banyak dijumpai di tempat umum ? Saya sudah tidak tahu lagi. Yang lebih hebat, dengan berkembangnya teknologi komunikasi telepon genggam ini adalah semakin banyak rumah tangga yang tidak mengandalkan lagi pesawat telepon yang disebut fixed phone itu. Pada saat yang sama penggunaan teknologi internet semakin berkembang. Ketika dulu ada wartel (warung telekomunikasi), entah apakah sekarang masih ada, akhirnya wartel beralih ke warnet (warung internet). Hingga awal tahun 2009 seingat saya masih saya lihat warnet di sekitar daerah perkantoran yang sibuk di Jakarta. Setelah itu saya tidak begitu memperhatikan lagi. Akhirnya saya tahu kalau sudah tutup.
Kapan persisnya telepon genggam itu menjadi sangat cerdas sehingga disebut smartphone? Saya tidak menelusuri catatan yang pasti tentang ini tapi dapat saya sebut saja mungkin baru sekitar tahun 2010 berkembang dengan pesat. Dan rasanya saat itu jugalah era media sosial (medsos) mulai tumbuh dengan pesat. Smartphone dan medsos memang klop. Walaupun benar bahwa lebih dulu saya memiliki akun Facebook daripada memiliki smartphone , itu karena akses internet yang berkembang lebih dahulu sebelum smartphone.Lalu, semuanya seakan terserap dalam smartphone, gawai generasi millennial hadiah besar peradaban dari generasi X.
Fenomena Kompasianer Khun dan medsosnya seperti yang saya bagikan dalam artikel ini dengan sendirinya membuktikan bagaimana medsos akhirnya menjadi pusat daya tarik kemudahan berkomunikasi lebih dari sekadar telepon genggamnya sendiri. Telepon genggam hilang, sekian banyak nomor HP/contact teman, keluarga, rekan bisnis juga pasti hilang. Tapi hal itu tidak lagi menjadi masalah yang besar kalau seseorang terhubung dengan berbagai platform medsos. Sebut saja misalnya Facebook, Twitter, dan LinkedIn.
Nah, sesuai dengan sebutannya, medsos, seluruh pusat perhatian dan motivasi di belakang medsos itu tidak lain adalah unsur sosialnya. Platform medsos dikembangkan tidak lain agar orang dapat menjalani kehidupan sosialnya terutama untuk bercakap-cakap dan interaksi sosial itu semakin berkembang dengan muculnya platform seperti Instagram dan You Tube misalnya. Untuk urusan interaksi sosial semacam itu, niscaya sama saja dengan interaksi sosial tanpa medsos, yakni pada akhirnya akan muncul komunitas. Mengapa niscaya ? Ya karena memang demikianlah sifatnya interaksi sosial yang dimanifestasikan dalam bentuk kehidupan bermasyarakat. Bukankah ini adalah salah satu kebutuhan dasar manusia ? Walaupun semuanya dipermudah dengan medsos, jauh sebelum itu, dengan berkembangnya internet pun orang masih merasakan kebutuhan untuk “kopi darat”.
Awal Oktober 2016 (1/10/2016) ini ada event menarik yang saya hadiri di Gedung Menara Bank Danamon lantai 22. Bersama dengan Pengelola Kompasiana dan Pengelola Komunitas Nebengers(dot)com, kami diundang oleh Bank Danamon untuk berdiskusi sekaligus memperkenalkan tentang strategi marketing Bank Danamon yang semakin mantap melaju untuk menjangkau komunitas melalui berbagai platform medsos Bank Danamon.
Mengutip rilis resmi Bank Danamon tentang formasi baru itu, dikatakan oleh Chief Marketing Officer Danamon, Toni Darusman bahwa sebagai salah satu pengguna media sosial paling aktif, masyarakat Indonesia membutuhkan perbankan yang fasih dalam komunikasi di media sosial, bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan informasi seputar layanan perbankan namun juga untuk berinteraksi dengan perbankan tersebut secara real time.
“Dengan formasi baru akun-akun media sosial Danamon, kami yakin dapat menjawab kebutuhan masyarakat, terutama generasi millennial, terhadap layanan perbankan yang terbuka, fleksibel, dan responsif. Kami harap keberadaan Danamon pada media sosial seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, dan Instagram semakin mendekatkan kami kepada nasabah sekaligus menjangkau masyarakat yang lebih luas, sejalan dengan visi Danamon “Peduli dan Membantu Jutaan Orang Mencapai Kesejahteraan,” kata Chief Marketing Officer Danamon, Toni Darusman.
Hingga bulan Mei 2016, situs online Statista mencatat Indonesia memiliki 24,34 juta pengguna Twitter aktif, peringkat ketiga setelah India pada peringkat kedua dengan 41,19 juta pengguna Twitter aktif dan Amerika Serikat pada peringkat pertama dengan 67,54 juta pengguna Twitter aktif. Sedangkan sebagai pengguna Facebook, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah pengguna Facebook keempat terbesar di dunia setelah India, Amerika Serikat dan Brazil. Hingga bulai Mei 2016 Indonesia mencatat 77,58 juta pengguna Facebook. Data Statista kuartal pertama 2016 juga menunjukkan bahwa Indonesia mulai banyak memiliki pengguna Instagram (sekitar8,93juta pengguna bulanan yang aktif), danLinkedIn (sekitar 6 juta pengguna terdaftar).