Ouw Peh Coa (Dua Siluman Ular) adalah kisah tentang siluman ular, yang satu Ular Putih dan yang satu lagi Ular Hijau atau Hitam yang sangat terkenal sebagai bagian cerita rakyat Tiongkok. Asal-usul cerita rakyat ini sesungguhnya kurang begitu jelas juga. Maka tidak heran jika muncul berbagai versi, akan tetapi substansinya sama saja yaitu pelaku dalam cerita yang terdiri dari pemuda jujur, gadis siluman ular putih, pendeta Budha, siluman ular hijau atau hitam serta kakak dan ipar si pemuda jujur.
[caption id="attachment_359809" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - Opera Ular Putih, Teater Koma"][/caption]
Pada zaman Dinasti Ching, cerita rakyat ini kemudian dituliskan dengan judul Pai Sheh Chuan (Kisah Ular Putih).Pada intinya kisah ini menceritakan tentang siluman ular putih yang akhirnya mengubah dirinya dalam rupa gadis yang berparas cantik, baik hati, penuh kasih sayang dan selalu bersedia berkorban untuk pemuda jujur yang dicintainya. Kebahagiaan kisah cinta antara keduanya terpaksa berakhir di tangan seorang pendeta Budha, ketika sang pendeta berhasil mengurung/memenjarakan siluman ular putih dalam sebuah menara. Alur pokok cerita ini sangat terbuka untuk berbagai penafsiran tergantung dari segi mana pendengar atau pembaca cerita serta penonton pementasan memandangnya. Siapa yang baik ? Siapa yang jahat ? Mana yang seharusnya berlaku dan seterusnya. Menarik sekali.
Kisah Ular Putih yang diangkat oleh Teater Koma kali ini pada produksinya yang ke-139 tidak kalah menariknya dengan topik rejuvenasi makhluk yang dalam berbagai peradaban manusia ini banyak tercatat dalam kisah dan dimensi pesona mulai dari perspektif kematian yang menakutkan akibat bisanya maupun hal yang kontradiktif, justru untuk penyembuhan.
[caption id="attachment_359810" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - Adegan Dewi Bangau, Wufu dan Dewi-dewi penjaga rumput sakti"]
[caption id="attachment_359811" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - Siluman Ular Putih dan Ular Hijau"]
Ular memang unik dengan sifat alaminya dalam hal rejuvenasi. Rejuvenasi bukanlah kata yang baku dalam bahasa Indonesia tapi menjadi sangat populer dan menggiurkan untuk digunakan terutama dalam kesempatan kali ini. Mari lihat dalam bahasa Inggrisnya: Rejuvenation, berasal dari rejuvenate yang antara lain berarti:
- to make young or youthful again : give new vigor to
- to restore to an original or new state
- to cause or undergo a renewal of youthfulness
Bahkan tidak kurang dunia kedokteran dengan lambang tongkat yang dililit oleh ular atau dikenal dengan tongkat Asclepius sangat erat dengan makhluk melata yang dalam peradaban manusia sangat terkenal dengan kemampuan alamiah berganti/memperbaharui kulit itu. Rejuvenasi!
[caption id="attachment_359812" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - salah satu adegan Ular Putih mengundang siluman-siluman lain utk bekerjasama"]
[caption id="attachment_359814" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - Ular putih dan hijau yang dibuat oleh seniman terkenal M. Tavip"]
Serba pas dengan produksi ke-139 Teater Koma, Opera Ular Putih. Tak kurang dijelaskan dalam catatan Pak Nano Riantiarno, sang sutradara, setelah 21 tahun sejak lakon tersebut dipentaskan ternyata selalu ada cara yang bijak dan bagus sehingga dapat ditempatkan pada masa yang tepat. Memang Opera Ular Putih pertama kali dimainkan Teater Koma pada 23 April hingga 8 Mei 1994. Dan sekarang, setelah 21 tahun, sekali lagi lakon ini dipentaskan pada tanggal 3 hingga 19 April 2015 ini. Satu ciri yang melekat pada Teater Koma dalam setiap pementasannya adalah daya serapnya terhadap permasalahan sosial politik di Indonesia yang terkini dan memicu sentilan-sentilan menghibur dalam berbagai dialog di setiap pentas, tapi yang pasti tidak pernah memudarkan substansi cerita itu sendiri.
Dalam konteks itulah penonton akan menyadari, sekali lagi kreativitas tanpa henti Teater Koma. Dulu rekaman situasi sosial politik itu memicu pembicaraan tentang kekuasaan, dan kini perubahan yang terjadi selama 21 tahun telah membawa era baru kepada kebingungan yang menuntut kemampuan membedakan antara watak manusia dan siluman ? Siapa manusia ? Siapa siluman ? Renungkan dan bandingkan dengan kekinian situasi sosial politik Indonesia.
Apalagi kreativitas tanpa henti yang lahir dari produksi ke-139 ini ? Nah, ini antara lain:
- Opera Ular Putih adalah lakon Tiongkok tapi hampir di setiap kostum menyerap unsur batik.
[caption id="attachment_359820" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - lihat unsur batik pada busana siluman ular putih dan hijau "]
- Hadirnya musik klasik Tiongkok bersama dengan musik panggung lainnya, ada Gu Zheng (kecapi), Er Hu (gesek) dan Di Zi (suling).
[caption id="attachment_359818" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - para pemusik yang memainkan alat musik klasik Tiongkok"]
- Terlibatnya unsur wayang potehi yang dimainkan secara menarik oleh pemeran Ular Putih (Tuti Hartati), Kohanbun/pemuda jujur (Ade Firman/Dodi Gustaman) dan Ular Hijau (Andhini Puteri)
[caption id="attachment_359816" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri - wayang potehi dari 3 tokoh: Ular Putih, Ular Hijau dan Pemuda Jujur Kohanbun"]
Apalagi ? Masih banyak lagi yang istimewa dari para pemain yang memerankan berbagai tokoh dalam opera: pendeta Bahai, Kokiyong, Likonghu, Wufu dan Dalang Gowi, Aseng, Aheng, Ameng, Siluman Ikan, Siluman Kepiting, Siluman Kuda Laut, Lima Setan Penjuru Angin, Dewi-Dewi Penjaga Rumput Sakti, Pembawa Lampion, dan seterusnya seluruh pemain, pemusik dan pekerja Teater Koma: piano, efek, biola, gitar, flute, cello, gendang, aransemen musik, penataan gerak, suara dan akustik, busana, vokal, penata musik, grafis, teknik dan seterusnya, tidak terkecuali bu Ratna Riantiarno sang pimpinan produksi.
Dan sungguh jika menelaah catatan sang sutradara, kita akan paham bahwa Teater Koma jelas serba fresh dalam menghadirkan pentas Opera Ular Putih ini walaupun dari segi naskah tidak berubah. Memang benar di antara para pemain, pemusik dan pekerja Teater Koma ada yang begitu kaya pengalaman dan telah lama hadir dalam menjaga eksistensi kelompok kesenian nirlaba yang konsisten dan produktif ini. Bagi penonton setia Teater Koma, mereka ini ibaratnya “The Guardian”, sekaligus dari mereka inilah makna rejuvenasi (baca: alih generasi) Teater Koma menjadi nyata.
Nah, terakhir yang sangat saya nikmati dalam pementasan kali ini, coba lihat garapan skenografi dan penataan cahayanya dari beberapa foto yang tak seberapa ini (lebih bagus bisa saksikan langsung). Ruang panggung yang artistik dan menawan serta pencahayaan yang mantap!