Mohon tunggu...
Andre Jayaprana
Andre Jayaprana Mohon Tunggu... Administrasi - write and share

seek first to understand

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Cara Elegan Menanggapi Singapura

11 Februari 2014   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukuplah dengan mengatakan: “Bahwa segenap jajaran kepemimpinan di Indonesia sangat memahami protes yang diajukan oleh pemerintah Singapura dan sungguh mengerti perasaan keluarga korban atas peristiwa masa lalu yang memilukan. Indonesia pun telah melalui masa yang sangat sulit dengan kehilangan Usman dan Harun yang semata-mata melakukan tugas yang diberikan negara pada mereka saat itu. Inilah saatnya, untuk kedua kalinya Indonesia dan Singapura, atas masalah lama yang sama, kembali membuka lembaran baru sebagaimana terdahulu dilakukan oleh para pemimpin kedua negara pada tahun 1973.”

Apakah pemerintah Singapura akan menerima begitu saja tanggapan seperti itu ? I don’t know.

Apakah Indonesia harus mengganti nama KRI itu ? Tidak juga.

Sekarang, saya sedang mencoba jika saya berada dalam posisi pemerintah Singapura. Sebelum mengajukan protes, cuma ada dua kemungkinan yang saya akan hadapi: protes saya diterima dan nama KRI diganti. Atau protes saya ditanggapi oleh pemimpin kuat dari Indonesia seperti di atas dan tidak ada perubahan nama apapun atas KRI Usman Harun.

Tapi sebagai bagian dari pemerintah Singapura yang hingga saat ini dikuasai oleh PAP (People's Action Party) dengan tradisi kaderisasi yang tangguh, saya memerlukan rakyat Singapura agar Singapura tetap berdiri sebagai suatu negara yang berdaulat. Saya perlu memahami perasaan keluarga korban yang sekarang masih rakyat dan warga negara Singapura. Sebagai pemerintah, tidak mungkin saya mengabaikan segelintir warga negara saya yang merasakan betapamemilukannya peristiwa tahun 1965 tersebut. Bahkan jikapun rakyat Singapura sudah lupa atas peristiwa tersebut, adalah sangat penting tetap berempati kepada warga dan menyampaikan keberatan kepada pemerintah Indonesia.

Singapura memiliki penduduk yang rakyat sekaligus warga negara yang kecil jumlahnya. Setiap waktu pemerintah Singapura selalu menganjurkan dan memberi motivasi serta insentif agar warga negaranya senantiasa tidak ragu-ragu untuk memiliki anak untuk kelangsungan negara tersebut. Lihat sendiri bagaimana Singapura begitu terbukanya terhadap manusia-manusia berbakat dalam berbagai bidang untuk menjadi warga negaranya. Lihat sendiri bagaimana warga negara Singapura yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi pada akhirnya keluar dari Singapura ke berbagai belahan dunia yang lebih nyaman untuk mereka nikmati dan tempati. Lihat sendiri bagaimana pekerja asing di berbagai bidang termasuk yang menjadi pembantu rumah tangga diisi kebutuhannya oleh warga negara asing. Lalu siapakah yang tinggal di negara pulau “the little red dot” tersebut ?

Kepemimpinan PAP mungkin memiliki masalahnya sendiri untuk meyakinkan warga negaranya bahwa negara Singapura yang berdaulat adalah suatu yang niscaya dan harus tetap eksis. Maka dapat dipahami dan alamiah jika ada protes asap dan sekarang protes KRI Usman Harun dan akan selalu ada perselisihan-perselisihan baik yang dapat diduga maupun tidak dapat diduga sebelumnya. Karena Singapura adalah negara yang memiliki rakyat dan pemerintahan. Kepemimpinan PAP bukannya tidak peka terhadap kritik warga negaranya. Banyak masalah dalam negeri juga yang dihadapi warga negara Singapura di seberang Pulau Batam itu.

Bagi Indonesia, masalah Singapura mungkin hanya bak noktah merah di dalam peta. Kadang dari noktah merah menjadi nila setitik rusak susu sebelanga. Tapi bagi pemerintah Singapura, kepemimpinan PAP dengan kaderisasi setangguh dan semirip apa yang ada di Stato della Città del Vaticano, dan nasib sisa warga negara Singapura yang hanya semata berpenghidupan di seberang Pulau Batam dengan sikap cenderung enggan memiliki anak, ditambah arus masuknya tenaga kerja asing memenuhi berbagai sektor di Singapura, apalah yang kurang penting dengan protes terhadap KRI Usman Harun with or without expecting good outcomes dari kepemimpinan Indonesia yang kuat. Karena kalaulah tidak demikian, maka nasib Singapura hanya menyambut senja kala dari negara pulau dengan rakyat (baca: penduduk suatu negara) dan pemerintah yang berdaulat ‘malih rupo’ menjadi negara dengan berjuta umat (baca: para penganut/pemeluk/ pengikut suatu agama) homo economicus dengan ekonomi sebagai agamanya yang agung dan sekumpulan imam (baca: CEO) dalam korporasi yang menggurita, dan dengan hal tersebut mungkin cukuplah Central Area (Central Business District) dari Singapura sebagai lahan negara kota dan pusat pemerintahannya (tetap lebih luas dari Vatikan). Lalu sisa lahan pulau dan warganya ? Ya, mungkin... kembali bergabung ke Malaysia atau ... ?

[caption id="attachment_294987" align="aligncenter" width="300" caption="CBD Singapore - wikipedia"][/caption]

Salam damai kepada jiran itu tetap menjadi sesuatu yang elegan. Semoga hubungan bertetangga segera kembali baik. Si vis pacem, para bellum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun