Ada dua tulisan opini Kompasianer Yusran Darmawan yang berturut-turut (tanggal 23 dan 28 Januari 2015) mendapat posisi HL. Kedua tulisan tersebut sempat saya baca. Kedua tulisan Yusran menyorot tentang Abraham Samad. Menjadi sesuatu yang menarik, karena Abraham Samad memang sedang ramai dibahas media saat ini.
Yang menjadi jauh lebih menarik adalah dalam kedua tulisan Yusran Darmawan, Abraham Samad dibahas dalam perspektif yang mungkin tidak umumnya dijumpai di keramaian media saat ini. Tentu saja tanggapan pembaca kedua tulisan tersebut bermacam-macam. Ada yang mengapresiasi sudut pandang lain yang ditampilkan oleh Yusran. Ada pula yang mempertanyakan agenda di belakang kedua tulisan tersebut. Bermacam-macam jenis penerimaan terhadap kedua tulisan tersebut. Yang pasti sebagai tulisan yang hinggap di media warga seperti Kompasiana, ada saja pro dan kontra tentang tulisan opini Yusran. Dan yang pasti juga, kedua tulisan Yusran tersebut menarik ribuan pembaca.
Yang dapat dipelajari dari kedua tulisan Yusran, justru memang demikianlah keunikan Citizen Journalism. Dalam konteks Citizen Journalism, apapun penerimaan pembaca terhadap kedua tulisan opini Yusran, perlu diingat kembali bahwa Citizen Journalism itu memiliki kadar yang berbeda dari Professional Journalism. Mengutip Dr. Joyce Nip dari Hong Kong Baptist University: “citizen journalism is media content created out of a professional context.”Jadi jika saja ada suatu tulisan yang kemudian ditulis dalam kadar lebih profesional dalam media warga seperti Kompasiana, bagaimana ? Ya tidak masalah juga, jauh lebih bagus tentu saja.
Walaupun ada kadar yang berbeda antara Citizen Journalism dan Professional Journalism, ada satu hal yang mengikat keduanya yaitu: kredibilitas. Sebagai seorang Citizen Journalist atau Reporter Warga, untuk dapat berfungsi sepenuhnya dalam mencapai tujuannya setidaknya ada 3 hal yang harus melekat pada dirinya yaitu otoritas, keahlian dan sumber daya.Seseorang dengan otoritas dan keahlian tertentu misalnya, tidak akan sulit membangun kredibilitas karena dengan sendirinya akan diasumsikan dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan di bidangnya. Sehingga cukup umum jika seorang jurnalis profesional dipandang memiliki otoritas untuk memberitakan sesuatu akan tetapi sebagai warga biasa, maka otoritas sedemikian itu harus dibangun lebih dahulu.
Prof. Yariv Tsfati, dari University of Haifa Israel pernah menuliskan bahwa kredibilitas adalah nilai profesi utama bagi jurnalis. Bagi pembaca, persepsi tentang kredibilitas media akan mempengaruhi pilihan dan tanggapan terhadap berita yang ditampilkan media tersebut. Yang umum terjadi adalah walaupun terjadi perbedaan pendapat antara jurnalis dan akademisi tentang apa yang mendasari kredibilitas, keduanya dapat menyetujui bahwaada dua hal yang mendasari kredibilitas yaitu kebenaran dan akurasi fakta yang disampaikan. Jurnalisme yang memiliki kredibilitas dapat diandalkan dan dipercaya. Namun kebanyakan akademisi terutama di Amerika Serikat berpendapat bahwa kredibilitas menjangkau lebih jauh daripada sekadar dapat dipercaya, yaitu: keadilan, tidak bias, akurasi, dan kelengkapan.
Pada umumnya kredibilitas dapat dijelaskan dari relasi antara jurnalis dan pembaca dalam situasi yang tidak pasti, ketika pembaca tidak dapat melakukan verifikasiterhadap karakter dan maksud dari jurnalis dan otentisitas dari tulisan seorang jurnalis. Pembaca mengharapkan jurnalis yang memiliki kredibilitasakan bertindak sesuai norma kejujuran dan keadilan.
Sejauh ini, dalam kapasitasnya sebagai Citizen Journalist atau Reporter Warga, Yusran Darmawan memiliki reputasi yang baik. Tentang tanggapan atau penerimaan yang beragam sehubungan dengan kedua tulisan Yusran yang saya maksud, kembali lagi kepada pemahaman tentang apa itu Citizen Journalism. Kalau soal kredibilitas tulisannya, maka ada tiga hal yang saya coba angkat, yaitu sebagai pembaca sampai sejauh mana saya membutuhkan bahwa opini yang disampaikan Yusran tentang Abraham Samad itu dapat diandalkan. Ketika menulis sebuah paper yang sifatnya akademis tentu saja segala sesuatu menjadi harus lebih ketat terutama perihal sumber-sumber data yang digunakan. Yang kedua adalah tentang Yusran sendiri sebagai penulis, apakah saya memiliki informasi yang cukup memadai tentang siapakah Yusran Darmawan sebagai penulis di media warga Kompasiana. Dan yang ketiga adalah masalah bias. Apakah Yusran memang tidak bias dalam menuliskan opininya ?
Untuk hal pertama, maka sejauh ini dalam kapasitas sebagai pembaca dua opini Yusran tentang Abraham Samad, saya cukup mengerti apa yang hendak disampaikan Yusran tentang Abraham Samad dan saya tidak merasa perlu mendalami sedemikian rupa sehingga berharap terlalu banyak, bahwa opini tersebut menjadi begitu profesional secara jurnalisme atau akademis seketat-ketatnya. Yang kedua, sepanjang yang saya tahu, informasi tentang Yusran Darmawan sebagai penulis sudah cukup memadai bagi saya, sehingga menambah keyakinan tentang Yusran sebagai penulis opini, berbeda dong dengan penulis yang menggunakan akun abal-abal. Hanya saja untuk yang ketiga, masalah bias ? Ini agak sulit diungkapkan. Karena dari kedua tulisannya, saya menyimpulkan bahwa Yusran memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang Abraham Samad dan sekaligus pernah menjadi Editor buku Jusuf Kalla, tapi saya tidak memiliki informasi yang cukup tentang bagaimana relasi sebenarnya antara Yusran dan Abraham Samad serta Jusuf Kalla, misalnya dari segi keterkaitan emosional atau finansial tertentu dan lain sebagainya, jika ada. Jadi tentang Abraham Samad menurut Yusran Darmawan, bagi saya, biarlah waktu yang akan membuktikan opininya. Memang demikianlah rupa Citizen Journalism dan dinamikanya. Dan tidak heran pula saya kalau Yusran menyandang predikat Reporter Warga Terbaik 2013 di media warga Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H