[caption caption="Sumber Gambar: Javanica Publisher"][/caption]
Konon para pahlawan adalah mata air keteladanan. Karena itu untuk melestarikan sosok dan nilai para pahlawan, sekaligus untuk mewariskannya kepada generasi muda, salah satu cara yang dilakukan adalah menuliskan buku biografinya. Sayangnya penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Seringkali untuk menegakan nilai tertentu, buku biografi sengaja disusun bukan “apa adanya” tetapi “ada apanya”, alias sesuai dengan keinginan si pemesan.
Ambil contoh semasa rezim Orde Lama yang mendirikan Lembaga Sejarah dan Antropologi di tahun 1958, sebagai instrument untuk publikasi pahlawan yang salah satunya dengan membuat buku biografi para pahlawan. Pemerintah Suharto melanjutkan dengan meluncurkan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional di tahun 1979. Catatan Klaus H. Schreiner, pada tahun 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.
Buku biografi versi penguasa ini pada akhirnya menemukan lawannya. Pertama, buku-buku biografi yang ditulis oleh mereka yang independen, tidak berdiri di bawah ketiak penguasa. Ambil contoh, M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.
Kedua, novel biografi, seperti : seperti Surapati karangan Abdul Muis, Jejak Kaki Walter Monginsidi karangan S. Sinansari Ecip, Cermin Kaca Soekarno karangan Mayon Sutrisno, Cut Nya Dien karangan Ragil Soewarno Pragolapati, dan lain-lain.
Jika dahulu, novel biografi cuma hitungan jari, maka belakangan ini malah kian banyak beredar di tanah air. Karena novel memiliki ruang untuk memadukan fakta sejarah, interpretasi, dan olahan imajinasi. Tidak bisa dipungkiri, banyak nian fragmen-fragmen sejarah pahlawan yang masih kabur. Olahan imajinasi penulis bisa mengisi ruang-ruang kosong ini. Namun akibatnya, novel biografi berpotensi memunculkan ketimbangan antara isinya dengan fakta sejarah. Kendati tidak bisa menjadi sumber sahih dalam penelusuran sejarah tapi memberi jalan lain atas pengetahuan sisi-sisi kehidupan pahlawan.
Artinya membaca novel biografi, jangan seperti membaca buku sejarah. Perlakukan novel itu selayak tambo Minangkabau, babad tanah jawa atau Kitab Lagaligo-nya orang Bugis. Jangan dibawa serius. Karena bukan alur dan fakta sejarah yang penting, tetapi semangat dari sosok dan nilai para tokoh yang diceritakan. Kalau tidak mencamkan hal ini, saya kuatir pasti nanti akan kecewa. Jadi santai saja. Nikmati saja hidangan di dalam rak itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H