Saya balik saja ungkapan kuno ini, setelah saya menemukan perilaku yang menjengkelkan sore tadi. Saya paham benar mengantre karena pemahamannya saya peroleh lewat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sekarang sudah jadi PKn. Setali tiga uang lah dalam prakteknya. Yaitu membelajari diri warga Indonesia selaku insan yang berbudi dan luhur menjalankan makna sila lima itu. Mengantre sudah tentu buah dari pengamalannya. Kalau menyerobot tentu tidak saja tak menjalankan dari ketentuan yang berlaku normatif, tapi juga menyakiti hati orang lain. Sebab bagaimana pun antrean itu, kita punya hak yang sama. Sama-sama harus bersusah payah menunggu dan berjajar mengikuti barisan antrean. Tak ada hak previelege, karena warga negara punya hak yang sama. Hak menunggu.
Maka ketika ada yang menyerobot, sudah barang tentu kita punya kewajiban untuk menegur karena si penyerobot telah mengganggu hak kita yang sama. Dan pasti pula hal ini berlaku pada siapapun, tidak pandang usia, tak melihat jenis kelamin, tidak berurusan dengan pendidikan. Apalagi status sosial dan ekonomi. Jadi ketika ada seorang bocah tanggung melakukan penyerobotan, maka kita tetap wajib untuk menegur. Mustinya dia tahu bahwa untuk memperoleh sesuatu ketika berada dalam sebuah daftar antrean, ia pun ikut menjadi bagian dari barisan itu.
Tapi apa lacur, orang tua si anak pun menghalal kan cara, menyerobot dan celakanya membolehkan penyerobotan yang dilakukan anaknya sendiri. Luar biasa. Ia serasa memiliki aturan sendiri dalam aturan yang berlaku secara umum. Gilanya, aturan yang dia buat bertentangan dengan aturan umum itu.
Saya marah! Sebab bukan semata proses penyerobotan itu sendiri. Tapi si anak justru memberi inspirasi kepada orang tuanya untuk melakukan kekurangajaran yang sama. Like Son Like Father dalam sebuah tindakan bodoh dan memuakkan.
Kemarahan saya bisa teredam karena tiba-tiba saya mencoba untuk berpikir positif dan mencoba memahami kondisi oknum warga negara yang saya anggap sudah "gila". Yang waras sebaiknya mengalah telah mendamaikan emosi saya.
Dalam berbagai lawatan yang pernah saya lakukan ke luar negeri, di mana budaya ber-Pancasila jelas bukan pahamnya, proses mengantre dan menghargai hak orang lain itu terasa sangat kental dan kasat mata. Mencuri barisan bukan saja sekadar memalukan, tapi juga menginjak-injak norma yang berlaku. Jika ini yang terjadi maka ia pasti akan jadi bahan cibiran para pengantre, mungkin juga ledekan bahwa ia pastilah bukan warga negeri itu. Mungkin warga dunia punya stereotipe, "That's Indonesian", makin memalukan lagi, karena olokan itu sudah menyebutkan sebuah bangsa.
Anak-anak kita adalah produk dari perilaku kita sendiri. Ketika mereka melakukan pengingkaran terhadap norma dan aturan, maka kita pulalah pihak yang paling bertanggungjawab. Bukan siapa-siapa. Anak kita salah karena melanggar, kita lebih salah karena tak pernah mengatakan bahwa itu adalah sebuah pelanggaran.
Anak-anak kita adalah potret dari diri kita. Boleh jadi seperti copy paste. Jika mereka mengoyak aturan, maka bisa dipastikan dulu kita (atau bahkan sampai sekarang) juga melakukan hal yang sama.
Jika anak kita kena marah dan tegur oleh orang lain, jangan salahkan sang penegur. Jika anak kita digalaki oleh orang lain, maka jangan salahkan si galak. Karena anak kita memang pantas kena tegur dan digalaki. Dan kita harus terima karena tidak pernah menegur dan menggalaki mereka untuk sebuah kebenaran aturan dan norma. Dengan kata lain, jika kita selaku orang tua tak bisa dan sanggup mengajarkan anak kita, biarkan orang lain yang melakukan. So, terima pula cara orang lain itu mengajarkan anak kita. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H