Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu...

journalist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Rapor Tiba

23 Desember 2009   09:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

mengapa setiap masa penerimaan rapor yang paling deg-degan sesungguhnya justru para orang tua. Bukan anak-anak yang pada hari itu akan dilaporkan segala macam kerja kerasnya, tindak-tanduknya, perilakunya. Kalaupun sport jantung, anak-anak mungkin tidak lebih tinggi ketimbang orang tua yang berharap-harap cemas. Lagipula jantung anak-anak pastilah lebih sehat ketimbang bapak-bapak dan ibu-ibu.

para orang tua yang memiliki harapan tinggi yang digantungkan di pundak anak-anak tercintanya pasti lebih berdegup keras dan kencang. bahkan mungkin semalaman ia tak bisa tidur pulas karena alam pikirannya sudah maju ke depan alias menunggu hari esok. bertubi tanda tanya ada di kepala, namun dengan satu fokus yang jelas, mampukah harapan itu diwujudkan oleh anak-anak?

bagi anak-anak, apalagi yang masih seumur jagung, beban ini boleh saja dianggap tinggi. namun ia memiliki dimensi yang tidak repot dan jelimet. konsep berpikirnya sederhana saja. jika saya berhasil atau sanggup meraih posisi seperti yang diorder oleh orang tua, maka selesai lah urusan. jika sempat muncul janji-janji sebelum ujian dari orang tua, kini saatnya untuk menagih. dimensinya selesai sampai di situ. tak ada urusan dengan masa depannya, toh jika pun memperoleh nilai dan rangking baik, ini semacam tabungan. jika pun tidak, berarti ia perlu kerja keras lagi. tapi itu nanti, sekarang manfaatkan masa liburan yang menjadi hak atas kebebasan hidupnya.

ibu-ibu dan bapak-bapak yang pikirannya tidak pernah sederhana, menggabungkan berbagai kepentingan. pertama, tentulah kepentingan bagi anaknya sendiri. kepentingan masa depan yang terjamin, dan menjadi semacam obat pemuas bagi orang tua yang menganggap pendidikan dalam konteks prestasi semata, yang ukurannya adalah kuantitatif. kepentingan bagi orang tua semakin melebar, misalnya perkara ini jadi semacam sebuah tonggak keluarga. bisa karena dalam struktur keluarga, konsep menjadi jawara di sekolah adalah sebuah absolut, kemutlakan. maka dalam silsilah, tonggak ini harus jadi semacam estafet warisan yang harus diteruskan. orang tua menjadi perantara dari kesilsilahan ini dan membebankan kepada anak. maka jika gagal, urusannya bisa panjang, sebab menyangkut harkat dan martabat keluarga besar.

menjadi juara juga semakin menjadi urusan kompleks, ketika rangking dianggap sebagai urusan penting seperti sebuah simbol atas citra keluarga santun, berpendidikan, dan harmonis. ketika rapor tiba dan sang anak menjadi juara, maka terjadilah sebuah kultur berpamer. yang mendengar tentu tidak perlu harus menanyakan banyak hal, karena mereka pun sudah cukup memahami bahwa ada simbolitas tentang image sebuah keluarga.

dengan kata lain, lewat segala macam kekompleksitasan pemikirannya orang tua telah mengkapitalisasi urusan menjadi juara kelas atau memperoleh rangking tinggi untuk kepentingannya sendiri. ia bahkan berani memberi janji tinggi kepada sang anak jika mampu memperoleh derajat yang paling tinggi. alasannya adalah sebagai penghargaan setinggi-tingginya atas perjuangan si anak. tak jarang lalu dibelokkan sebagai kesetaraan dengan sebuah pekerjaan, di mana, siapa yang bekerja keras maka ia berhak mendapat hal yang diinginkan. ada rewards. tapi orang tua alpa, jika pemberian hadiah atau rewards itu tak jarang ditujukan bukan semata-mata untuk memberi penghargaan, tapi adalah keinginan terselubung dari orang tua agar diwujudkan oleh anaknya demi meloloskan berbagai kepentingan di atas. apalagi jika semata hanya untuk menjaga status belaka.

para orang tua lebih sering memakai standarisasi rangking untuk menilai anak-anaknya. rangking atau urutan memang lebih mudah untuk menilai sebuah persaingan, karena memang di situlah anda akan melihat juara 1,2,3 dan seterusnya. bahkan tidak jarang, ia pun tidak mementingkan nilai, hanya berorientasi pada juara. maka jika anda ingin melakukan evaluasi, yang terlihat hanyalah ukuran-ukuran subyektif atas orang-orang yang menjadi juara. siapa pesaingnya, siapa yang jadi kuda hitam, dan seterusnya.

sangat jarang yang melihat nilai sebagai takaran utama melebihi dari sekadar rangking. kalaupun ada, nilai menjadi ukuran kedua setelah rangking.

mengapa nilai lebih penting ketimbang rangking? bagi saya nilai adalah angka murni dari prestasi dan pencapaiannya. ukuran bakunya adalah rata-rata kelas. sebesar apa anak-anak kita mampu melebihi rata-rata kelas pada setiap mata pelajaran, maka di situlah kita bisa menilai kompetensi anak-anak kita. kita bisa mengevaluasi kelemahan anak kita dalam setiap proses yang dilakukannya. juga melihat kelebihannya.

sementara rangking adalah totalitas dari seluruh angka-angka itu kemudian disusun menjadi sebuah urutan. sebalnya jika lalu terjadi angka sama, maka penyusunan rangking pun didasarkan pada abjad. bayangkan jika anak bernama zahra, pasti bisa dapat nomor buncit.

begitulah, kadang kita suka salah kaprah menilai achievement anak dalam konteks juara, bukan nilai. bayangkan jika anak anda rangking satu, tapi berada di kelas yang rata-ratanya di bawah rata-rata sekolah, apa anda masih bangga dengan rangking itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun