Anda boleh saja belajar mengejar ilmu sampai ke negeri China. Namun ternyata belajar tak perlu menempuh ribuan kilometer. Apalagi untuk ilmu-ilmu dasar. Ya, di sekitar kita saja. Dan, anak-anak kita telah mengajak untuk kembali mempelajari betapa ilmu-ilmu dasar yang puluhan tahun silam pernah kita kuasai sepenuhnya ternyata telah hilang dari ingatan akibat terlalu serius mengejar ilmu yang lebih tinggi sampai ke negeri Tiongkok itu.
Suatu malam, saya mendapat pencerahan yang luar biasa, bahwa saya telah alpa akan ilmu-ilmu dasar yang telah membuat saya menjadi "orang" seperti sekarang ini. Lihat betapa bodohnya kita untuk memahami pengertian-pengertian agama, pengetahuan alam, juga ilmu-ilmu sosial lainnya. Sungguh di luar dugaan, ternyata kita memang sangat minim menguasai basic knowledge, meski barangkali sangat jago dan paham ilmu-ilmu dan terapannya.
Belajar dengan anak kita posisikan diri kita bukan sekadar sebagai guru. Tidak hanya mengajar dan mendidik, tapi juga -benar-benar- belajar seperti halnya anak kita. Sama-sama mencari pengertian "Malam Lailatul Qadar", dari mana muasalnya, bagaimana turunnya, mengapa diturunkan, dan apa sebab kita harus mengejarnya. Kita tahu, ketika menjelang tutup Ramadhan sepuluh hari terakhir saling berebut menemukan malam luar biasa itu, tapi kita tak paham hal ihwalnya. Luar biasa bukan?
Itu baru satu hal saja di antara puluhan, ratusan, dan ribuan pengetahuan dasar yang seharusnya kita kuasai di luar kepala. Dulu, kita menganggap semua yang serba mendasar dengan cara menghafal. Karena toh yang kita cari adalah aplikasinya. Atau jika tidak, kita ingin mengejar pemahaman yang mendasar itu untuk disimpan di otak memori kita agar kelak ketika ujian tiba, semua dengan lancar turun ke tangan dan tertulis di lembar jawaban. Cari nilai tinggi agar rapor tak jeblok.
Ini sebuah konsep berpikir yang salah. Karena ketika otak kita kemudian dipenuhi oleh "ilmu-ilmu" lain, sementara kapasitas memorinya terbatas, maka secara otomatis "ilmu-ilmu" yang sempat tersimpan itu kemudian hilang, lenyap, digantikan oleh ilmu-ilmu baru. Begitu seterusnya.
Maka saya kembali mempelajari bersama anak saya, sama-sama mencari ilmu dan logika serta dari mana datangnya ilmu itu. Istilahnya "back to basic knowledge". Saya bisa menjelaskan bagaimana proses hewan menyusui melakukan reproduksi, dari zigot menjadi janin, bayi, kemudian lahir. Ini soal hafalan. Tapi saya tak menemukan jawaban mengapa ada hewan menyusui. Sebuah pertanyaan mudah dari anak saya, yang saya tak menemukan jawaban, kecuali bahwa tuhan menciptakan aneka macam hewan. Tak memuaskan, tapi memang dari dulu basic knowledge semacam ini tak pernah diajarkan.
Lain kisah, soal matematika. Sang guru -yang otaknya sama saja dengan kita-kita- menjelaskan bahwa 2x3 jika dibuat secara berurutan adalah 3+3. Dogmanya begitu, tak bisa ditawar. Tapi anak saya punya logika lain. Ia memakai pemahaman mendasar. Bukankah angka 2-nya yang dikalikan sebanyak tiga kali?
Dia, menurut saya, benar. Tapi sang guru -dengan pemahamannya sendiri- mengatakan kebalikannya. Angka 3-nya yang dikalikan 2. Anak saya lalu protes. Bukan kah sama saja? Mau angka 2-nya yang dikalikan 3 atau angka 3-nya yang dikalikan 2, toh hasilnya tetap 6.
Saya tetap mengaggap bahwa anak saya punya logika benar. Ia mencontohkan lagi. Kalau saya punya ayam 2 ekor lalu dikalikan 3 maka jawabannya adalah 6 ekor.
Ya, dia benar. Sang guru? Entah lah. Bagi saya hanya membuat kacau logika berpikir dengan sebuah dogma. Hingga akhirnya anak saya hanya duduk sebagai rangking 3, gara-gara dua soal UAS disalahkan oleh hitung-hitungan yang dogmatis tadi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H