Mohon tunggu...
Andra Eka Putra
Andra Eka Putra Mohon Tunggu... -

Blogger, menyukai karya-karya Serj Tankian, Herbert Marcuse, Ibn Rushd, dan Sindhunata. Sehari-hari menghabiskan waktu dengan bermain futsal dan meminum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Hari Buku Nasional Rakyat Indonesia

18 Mei 2012   21:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang negarawan Romawi Kuno: Marcus Tullius Cicero pernah mengatakan “A room without book is like body without a soul” – sebegitu pentingkah arti sebuah buku hingga dianalogikan ruang tanpa buku layaknya tubuh tanpa jiwa. Ya tanpa jiwa! Jika sudah demikian adanya apalah lagi arti tubuh jika tidak mengandung jiwa, ia (baca: tubuh) hanya akan menjadi seonggok daging berjalan dan bernyawa tanpa mengenal passion, tanpa mengenal kewajibannya sebagai seorang manusia, karena tak mengenal (lagi) kewajibannya sebagai seorang manusia maka implikasinya ia-pun tentu tak mengenal lagi akan Tuhannya. Kenalilah dirimu terlebih dahulu jika ingin mengenal Tuhanmu.

Lalu apa itu sebenarnya Buku? Secara sederhana buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu yang berisi tulisan-tulisan atau gambar. Sejarah sendiri mencatat Mesir (2400-an SM) merupakan negeri pertama yang melahirkan buku (kuno). Namun Buku itu, belumlah berbentuk seperti sekarang. Buku kuno ketika itu masih berupa tulisan yang tercetak diatas keping-keping batu (prasasti) atau kertas yang terbuat dari daun Papyrus (Papyrus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang tumbuh di tepi sungai Nil). Mesir pula yang mencatatkan diri sebagai bangsa pertama yang mengenal tulisan, tulisan mesir kuno umumnya disebut Hieroglif: yaitu tulisan yang bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Memasuki awal abad pertengahan Papyrus kemudian diganti dengan codek (lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi kulit kayu) kemudian diganti lagi menjadi perkamen (kertas kulit). Perkembangan dari codek ke perkamen sendiri besar dipengaruhi oleh orang-orang Timur Tengah yang menggunakan kulit domba yang disamak kemudian dibentangkan, bentangan kulit ini yang awalnya dinamakan pergamenum kemudian disebut perkamen. Perkamen lebih kuat dan mudah dipotong serta mudah dilipat sehingga lebih mudah digunakan, inilah yang menjadi cikal awal sebuah buku yang dijilid. Di Indonesia sendiri, pada zaman dulu Buku kuno umumnya ditulis di atas daun lontar yang kemudian dijilid hingga membentuk sebuah buku.

Buku-buku kuno tersebut semuanya ditulis dengan tangan, namun seiring berkembangnya zaman turut pula berkembang ilmu pengetahuan manusia. Perubahan besar dalam perbukuan dimulai ketika ditemukannya kertas oleh Cai Lun (105 M): seorang berkebangsaan Cina yang membuat kertas dari kulit kayu murbei serta ditemukannya mesin cetak (abad 15) oleh seorang berkebangsaan Jerman, Johanes Gutenberg. Penemuan mesin cetak ini sekaligus menandai berakhirnya era ortodok penulisan tangan untuk sebuah buku.

***

Mungkin (sangat) sedikit orang yang mengetahui bahwa 17 mei diperingati sebagai hari buku nasional. 17 mei sendiri dipilih karena bertepatan dengan pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) di Jakarta pada tanggal 17 mei 1980. Selang 32 tahun kemudian sejak diresmikannya Perpustakaan Nasional dan mulai menjamurnya Perpustakaan-perpustakaan, toko-buku-toko-buku, kios, lapak, pasar dll -baik ditingkat Pusat maupun Daerah, apakah kehidupan bangsa sudah tercerdaskan sebagaimana amanat pembukaan UUD 45? Atau apakah kita menjadi masyarakat yang “gagap” akan sejarah dengan kealpaan kita memperingati atau setidak-tidaknya mengingat akan hari-hari penting bangsa sendiri, atau pula ada kecendrungan dari kita menjadi masyarakat “gemar upacara” yang penuh dengan pesta-pesta peringatan hari besar nasional namun tanpa makna, tanpa renungan, hanya serimonial adanya. Untuk itulah, besar harapan penulis tulisan ini mampu mewakili penulis pada khususnya dan masyarakat banyak pada umumnya sebagai sebuah bentuk refleksi kita bersama, sebuah pemaknaan kita bersama, sebuah cara kita bersama untuk mengenang dan memperingati hari buku nasional yang ke-32.

Sebagaimana telah dipaparkan diatas, dimana buku idealnya menjadi media pencerdasan kehidupan berbangsa disamping media-media yang lain tentu saja semisal Televisi, Radio, Koran, Majalah bahkan internet, namun buku tetap mempunyai peranan penting yang tak terbantahkan. Bahkan sosiolog agama asal Iran: Ali Syari’ati pernah mengatakan “Buku adalah seperti makanan, tetapi makanan untuk jiwa dan pikiran. Buku adalah obat untuk luka, penyakit, dan kelemahan-kelemahan perasaan serta pikiran manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, maka akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar.”

Apa yang bisa kita ambil dari statement singkat Ali Syari’ati tersebut, pertamaadalah penegasan kembali apa yang pernah disampaikan Cicero (seperti yang telah ditulis diawal bagian tulisan ini) beribu-ribu tahun sebelumnya bahwa buku adalah ihwal yang berkaitan dengan jiwa, buku adalah “asupan” untuk jiwa, dan buku adalah nutrisi untuk jiwa. Kenapa demikian? Karena sesuai dengan fitrah manusia sendiri, yaitu mahluk yang diberi akal yang berisi pengetahuan, dan pengetahuan tentu saja harus senantiasa selalu di upgrade sebagai resiko berkembangnya zaman. Analogi sederhana perihal “upgrade” adalah Teknologi komunikasi BlackBerry: yang terjadi jika BlackBerry tidak di upgrade maka fitur-fitur atau kelebihan-kelebihan yang ditawarkan BlackBerry tidak akan dapat difungsikan secara maksimal, sekali lagi secara maksimal. Begitu pula dengan jiwa kita, dengan otak kita, dengan pengetahuan kita apabila tidak di-upgrade maka juga tidak akan dapat difungsikan secara maksimal. Dengan buku-lah kita meng-upgrade nya, dengan membacalah kita memaksimalkan fitur dan fungsi jiwa kita. Hal ini sangat berkesesuaian dengan Al Qur’an, dimana ayat paling pertama dari Al Qur’an yaitu Al Baqarah memerintahkan “Iqra, -bacalah.”

Kemudian yang kedua, statemen Ali Syariati tadi juga mengingatkan: Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, maka akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar. Artinya apa, artinya dalam sebuah buku selain ada pengetahuan positif juga ada pengetahun yang sifatnya (dianggap) negatif. Kenapa penulis katakan “dianggap”, karena “nilai” suatu buku sifatnya multitafsir, dan karenanya menjadi relatif. Disinilah kemudian peran sentral guru kepada muridnya, peran sentral orang tua kepada anaknya untuk memberikan bacaan yang “layak”, memberikan buku yang “layak” sesuai dengan kondisi penerima dan porsi pembaca buku tersebut. Namun hal ini janganlah disalahtafsirkan menjadi menolak membaca buku, anti buku, phobia berlebihan akan buku. Contoh, pembredelan atau pelarangan pengedaran buku utamanya buku-buku yang dianggap “Kiri” pada zaman orde baru Soeharto. Untuk buku yang dipalsukan sendiri sebagaimana yang diwanti-wanti Ali Syari’ati dapat kita ambil contoh buku Naskah Persiapan UUD 1945 karya Mr. Mohammad Yamin (1959) yang mengaburkan fakta sejarah, bahkan Wakil Presiden Indonesia sendiri ketika itu yakni Mohammad Hatta menyebut Yamin licik. Jenis-jenis buku seperti inilah yang diwanti-wanti oleh Ali Syari’ati, karena itu perlu dilakukan pembacaan yang kritis dan tidak begitu saja “membeo” -meyakini kebenaraan yang dituliskan tetapi hendaknya terlebih dahulu melakukan cek ulang akan isi buku tersebut. Namun sekali lagi hal-hal seperti ini janganlah disalahtafsirkan untuk mengambil sikap anti akan buku, justru hal-hal seperti inilah hendaknya diposisikan sebagai pemicu akan kesenangan membaca, kegemaran membaca, kesenangan mengetahui hal ihwal. Bukankah membaca itu membuka jendela dunia.

***

Apa langkah nyata kita untuk memperingati hari buku Nasional yang ke-32 ini, mungkin yang akan penulis sampaikan terdengar seperti klise belaka, repetisi belaka, namun yakinlah, yakinlah kita bahwa repetisi dengan frekuensi berkelanjutan, repetisi terus menerus akan menjadi sebuah kebiasaan. Jadi langkah nyata untuk memperingati dan memaknai hari buku 17 mei ini adalah dus menumbuh-kembangkan budaya membaca di segala usia. Kalau kita belum memiliki buku, maka milikilah – Kalau kita sudah memiliki buku, maka bacalah.

Namun memang harus diakui, tanpa menutup mata -das sein-nya kebanyakan dari kita lebih menyenangi budaya lisan (ngobrol, gossip) atau budaya visual (menonton TV) ketimbang budaya membaca. Membaca dianggap sebagai kegiatan yang membosankan, Usia Golden Age (0-5 tahun) dilewatkan begitu saja, padahal diusia-usia inilah proses penyerapaan otak meningkat sampai 80%. Kondisi seperti inilah yang memunculkan anekdot “jika orang jepang tidur sambil membaca, maka orang indonesia membaca sambil tidur.” Oleh itu janganlah kita mengiri hati terhadap Jepang yang peradabannya jauh berpuluh-puluh langkah didepan Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satunya oleh kurangnya budaya baca dalam masyarakat Indonesia sendiri. T.S. Elliot –seorang penyair Inggris periode (1888-1965)- mengatakan “Sulit membangun peradaban, tanpa budaya tulis dan baca.”

Lalu mesti pesimis kah kita? Tidak, kita harus optimis, alegorinya orang pesimis hanya mampu menciptakan pelampung, sementara orang optimis mampu menciptakan pesawat terbang, mampu mencipta sesuatu yang lebih besar, dengan manfaat besar pula. Oleh itu optimis kita dapat menghentikan “sindiran” orang Indonesia membaca sambil tidur, oleh itu optimis kita Indonesia mampu membangun dan mengejar peradabannya,optimis kita Indonesia dapat menumbuh-kembangkan budaya bacanya. Sekali lagi kalau belum memiliki buku, maka milikilah. Kalau sudah memiliki buku, maka bacalah.

Rakyat Indonesia! Selamat Hari Buku Nasional !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun