Mungkin terlalu lebay apabila seorang pemuda berusia 24 tahun yang tergolek di tempat tidur dan belajar melukis cat air otodidak disebut titisan Basuki Abdullah. Ke-lebay-an itu tidak berlaku bagi seorang ibu negara bernama Ani Yudhoyono. Suatu ketika, pemuda tersebut mendapat telepon dari seseorang yang mengaku utusan Sang Ibu Negara untuk melukis Ikan Koi dan lukisan lebah. Singkat kata, lukisan rampung dibuat, uang hasil melukis pun datang. Uang tersebut digunakan untuk membeli notebook dan Ipad. Sang Pemuda, berbekal kedua gadget tersebut lalu melanglang dunia menembus awan, berkenalan dengan pelukis Perancis untuk mempelajari teknik-teknik baru melukis. Tentu saja Rodhi dibantu pendamping setia, Mr. Google, yang membantunya berbahasa Perancis.Siapakah Rodhi Mahfur, pelukis yang karyanya menarik hati seorang Ibu Negara, putra dari Sutrisno dan Siti Musaadah?
Rodhi terlahir sempurna, setidaknya sekitar 24 tahun yang lalu. Kehidupan sang pemuda hingga berusia 14 tahun terbilang normal. Tiada cerita menarik sejak ia lahir hingga usia ABG tersebut. Kalaupun ada, mungkin sisi “menarik” tersebut masih tersimpan di benak Rodhi dan kedua orangtuanya, menunggu seseorang mewawancarai mereka dan mengabadikannya dalam untaian kata.
Usia 14 tahun menjadi awal perjumpaan Rodhi dengan Sang Malaikat Maut yang menggiringnya ke neraka dunia. Remaja yang pada usia itu berada di puncak kenakalan dan abai dengan nasihat orang tua mengalami kejadian tragis yang mengubah seluruh hidupnya. Pulang sekolah dari ujian kelas 3 MTs, Rodhi mengalami kecelakaan fatal ketika mengendarai sepeda motor. Tulang belakang dan tulang ekor Rodhi patah. Rodhi lumpuh. Bukan hanya itu, kecelakaan tersebut menyebabkan luka di bagian perut sehingga untuk buang air kecil pun terpaksa memakai selang. Beruntunglah Malaikat Maut hanya menggoda Rodhi saja, belum menuntaskan tugasnya mencabut nyawa.
Delapan tahun lebih Rodhi hidup dalam derita, hari-harinya diisi dengan ratapan dan penyesalan. Ibunya setia menemani di sini Rodhi, tentu dengan kesedihan yang sama, bahkan lebih. Mereka bukanlah keluarga kaya raya yang tinggal di kota besar. Kabar terakhir yang diterima menjelang Lebaran lalu, Rodhi menghubungi penulis dan menanyakan kabar. Ia juga memberi tahu bahwa dirinya berencana melakukan operasi untuk mengatasi luka di perutnya dengan fasilitas Jamkesmas.
Rodhi bangkit. Delapan tahun dalam derita tidak membuatnya patah harapan. Api kecil semangat itu tumbuh. Doa-doa yang dipanjatkan orang tuanya mulai menunjukkan hasil. Rodhi berlatih melukis secara otodidak. Entah bagaimana caranya seseorang yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur bisa melukis. Entah seberapa sakitnya yang dirasakan Rodhi ketika menggerakkan tubuhnya untuk melukis. Entah bagaimana pula pemuda yang kini tidak memiliki kaki itu mendapat ilham untuk berlatih melukis. Melakukannya berkali-kali. Terus dan terus. Kiranya mungkin hanya itu pilihan yang bisa Rodhi lakukan. Melakukan sesuatu dengan tekad luar biasa, atau tetap terkapar seperti pecundang. Rodhi berhati baja. Tuhan Mahabesar.
Rodhi hanya membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk melukis dengan cukup baik. Setidaknya untuk kualitas orang yang melukis otodidak dengan teknik apa saja yang bisa dia lakukan. Satu hal yang mungkin bisa dia lakukan tapi belum bisa dilakukan pelukis amatir adalah melukis dengan hati. Seakan-akan semua kepedihan hatinya hilang ketika ia melukis, tenggelam dalam lukisan-lukisannya. Dengan melukis Rodhi bisa tersenyum. Penulis bisa merasakan getaran keceriaan dan kepolosan Rodhi ketika berbicara lewat telepon. Rodhi telah berhasil lepas dari jeratan maut depresi. Rodhi bangkit dan berlari mengejar harapan baru. Rodhi kini seorang pelukis.
Rodhi bukanlah Van Gogh atau Basuki Abdullah. Rodhi hanyalah pemuda tanpa kaki yang tergolek di tempat tidur dengan kaleng cat minyak yang berserakan. Ketika Van Gogh dan Basuki Abdullah berjalan-jalan lintas benua untuk melukis, berdiskusi-berdebat dengan pelukis lainnya, dan melukis di tempat-tempat terindah di dunia, Rodhi tetap berada di kamarnya. Pikiran dan perasaannya yang melayang-layang mengangkasa hingga ke Paris. Hasil karyanya kini tersimpan di suatu ruang milik seorang Ibu Negara, entah di gudang atau di ruang tamu. Sang Ibu Negara pun membeli lukisan Rodhi karena iba atau bangga, belas kasihan atau memberi harapan, hanya beliau yang tahu.
Perjuangan Rodhi melukis pun tidak mulus begitu saja. Lukisan yang dibuatnya kadang hanya sekedar diberikan kepada temannya sebagai hadiah. Sekiranya pun dibeli dengan harga yang sangat murah, tidak sebanding dengan nilai seni dan perjuangannya, hingga suatu saat Rodhi berkenalan melalui dunia maya seorang pelukis cacat sejak lahir bernama Faesal, pelukis invalid yang melukis dengan mulut. Faesal mengajaknya untuk mengikuti pameran di Jepang dalam acara PARAA di Tokyo pada tahun 2013. Itu adalah pameran pelukis invalid se-Asia.
Peserta dari Indonesia hanya mereka berdua. Itu pun dengan biaya sendiri dengan cara mengirimkan lukisan mereka ke panitia. Pameran selesai dan lukisan tersebut dikembalikan pada pemiliknya. Sayang di suatu institusi pemerintah RI, lukisan Rodhi ini dikenakan bea masuk sekitar 2 juta. Tentunya hal ini sangat mengejutkan ketika Rodhi dan keluarga membayangkan dari mana uang tersebut akan diperoleh. Untuk mengurus dan menunjukkan bahwa lukisan tersebut adalah karya Rodhi sendiri, sang ibu mengurus Kartu Tanda Penduduk dan surat keterangan dari pemda setempat. Kembali disayangkan, sempat terjadi perdebatan bagaimana Rodhi diambil pas fotonya. Apakah seorang lumpuh wajib datang ke kantor kecamatan demi sebuah foto?
[caption id="attachment_368214" align="aligncenter" width="576" caption="Rodhi Mahfur sedang melukis (FB Art Rodhi)"][/caption]
***
Seiring dengan angin perubahan politik Indonesia, nasib Rodhi sedikit demi sedikit mulai berubah. Kabar terakhir yang diperoleh penulis melalui akun FB-nya, Rodhi sudah masuk rumah sakit untuk menyelesaikan masalah di perutnya. Dia dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang. Tamu-tamu berdatangan. Dalam salah satu status FB, Rodhi mengatakan bahwa dia dihubungi oleh seseorang yang mengaku dari acara D’terong Show. Popularitas nampaknya sudah terbayang di benak Rodhi. Penulis yang hingga kini belum sempat bertemu muka dengan Rodhi hanya memberi saran, "Tetap fokus berkarya saja. Marketing, duit, ketenaran, dlsb biar diatur orang lain yang amanah. Jangan sampe hal-hal seperti itu menjauhkan kesadaranmu dari kasih sayang-Nya."
Rodhi pulang ke rumah tanggal 16 Oktober 2014. Kemarin, pemimpin di negeri ini telah resmi berganti. Tentu saja Sang Ibu Negara berganti pula. Apakah kelak Rodhi kembali memiliki kesempatan mempersembahkan karyanya untuk ibu negara yang baru? Apa pun itu Rodhi, tetaplah berkarya. Jangan hanya berkarya untuk manusia nan fana. Berkaryalah untuk Tuhan. Niatkanlah untuk beribadah kepada-Nya karena tidaklah jin dan manusia diciptakan selain untuk mengabdi pada-Nya. Melukislah sebagai wujud ibadah nan ikhlas, surga hanya diberikan pada penghindar neraka. Pahala juga diciptakan untuk penghindar dosa. Manusia-jin, surga-neraka, pahala-dosa, setan-malaikat, semua adalah ciptaan-Nya. Melukislah karena-Nya, bersama-Nya, dengan nama-Nya, kelak Dia akan memberimu segalanya.
Tulisan ini adalah wujud barter antara sang pelukis dan si penulis. Rodhi mengirimkan lukisan kaligrafi pesanan penulis, sayang penulis terlalu miskin bahkan hanya untuk membayari ongkos kirim lukisan dari Kendal-Sragen. Saat lukisan datang, penulis masih dalam keadaan pengangguran. Thanks Bro… I owe you…
Terima kasih pada Pak Wiwid Bn yang telah memberi sepenggal bahan artikel untuk dimodifikasi menjadi tulisan nan sederhana ini. Perkenalan dengan Rodhi plus foto-foto karyanya bisa dilakukan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H