Nasi Goreng Luwes. Begitu nama warung tenda yang mangkal di samping rumah makan pecel lele terkenal Pak Jo. Atau di seberang restoran kuliner Chinese Gao Shan Kitchen. Di Jalan Raya Serpong, kalau dari Tangerang sebelum bundaran Alam Sutera.
Pemiliknya Pak Aji. Orang Comal Pekalongan yang sudah puluhan tahun hijrah ke Tangerang Selatan.
Warung ini mewakili jutaan warung tenda yang tegak berdiri tak peduli dengan hiruk pikuk politik. Kendati berkali-kali dihantam oleh harga bahan pangan yang naik melulu (karena nyatanya tidak pernah turun, kecuali kembali ke harga normal).
Pak Aji mengeluh, tapi keluhannya selalu diiringi senyum. Seperti ketika beras mendadak susah didapat dan membikin harga melonjak tempo hari. Dan senyumnya seperti hendak mengalahkan duka hatinya sebagai rakyat kecil.
Hidupnya seakan seperti nama warungnya, "luwes". Alias fleksibel mengikuti apa yang terjadi hari ini. Tidak rakus, ambisius, dan menghalalkan segala cara.
Nasi Goreng Luwes tak ada di peta Google. Karena selain hanya buka sore sampai malam (kadang tembus nyaris subuh), juga Pak Aji mengaku gaptek. Segaptek-gapteknya Pak Aji kalau konsumennya senang biasanya mereka yang akan upload foto beserta titik koordinat peta. Tetapi tiada satu pun.
Padahal kalau bicara rasa boleh lah diberi bintang empat dari lima bintang. Bahkan jika ada adu chef niscaya Pak Aji mampu berkompetisi dengan chef-chef resto macam Din Tai Fung atau Imperial Kitchen.
Rasa boleh diadu. Kecuali harga dan penyajian. Harga sepiring nasi goreng biasa di Luwes dibanding Tai Fung bisa terpaut dua sampai tiga kali lebih murah.
Pak Aji tak pulang kampung sewaktu hari pencoblosan Pemilu, tengah Februari lalu. Tak juga menggunakan hak pilihnya alias golput.