[caption id="attachment_90688" align="aligncenter" width="423" caption="Gerbang desa Lakkang, kecamatan Kallo, kota Makassar"][/caption] Silat tampaknya tidak sekadar menjadi sebuah aktivitas gerak badan belaka. Ia seperti sudah menjadi semacam seni, yang siapa pun boleh melakukan tanpa persyaratan umur. Gerakan-gerakannya memang spesifik. Namun, jika bicara seni, maka kreativitas untuk mencipta gerakan-gerakan baru adalah sah-sah saja. Begitulah, warga desa Lakkang, kecamatan Kallo, kota Makassar memperagakannya di hadapan pengunjung. Tua muda masuk ke arena, memperagakan gerakan a la-nya masing-masing. Yang muda tentu saja lebih agreasif dan pakai jungkir balik. Secara keseluruhan gerakan-gerakan itu seperti sudah sering dilakukan. Tidak kaku, namun mengalir. Sejenak menghampiri desa Lakkang seperti melakukan perjalanan lintas darat dan air. Dari Makassar naik angkutan darat menuju kampus Universitas Hasanuddin, di bumi Tamalanrea. Kampus ini tak berubah sejak kunjungan saya 15 tahun silam. Saya sempat menginap di kompleks aktivitas mahasiswa dalam sebuah perjalanan ekspedisi. Kali ini, saya melewatinya lagi, dalam angka jappa-jappa bersama teman-teman XL Axiata. [caption id="attachment_90690" align="aligncenter" width="423" caption="Rumah khas desa Lakkang"]
[/caption] Kampus itu rupanya dibelah oleh jalanan yang suatu ketika akan mengajak Anda untuk sampai ke sebuah dermaga kecil. Jangan bayangkan seperti dermaga kapal laut. Bahkan pun tidak untuk sebuah pelabuhan kelas kecamatan. Kira-kira 700 meter selepas tanah laboratorium Unhas, tertemu jalan selebar 4 meteran dan sampai pada dermaga. Hanya ada kayu-kayu yang tampaknya mulai patah menutupi dermaga supermini itu.Ibarat ujung jalan. Namun siapa sangka dari situ, masih ada kampung di seberang. Maka, satu-satunya cara adalah naik katingting. Ini julukan perahu yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga mampu muat lebih dari 10 orang. Kadang motor pun masuk. Kecepatannya entah berapa km/jam. Pokoknya kalau dengan tenaga 9 PK makan waktu sekitar 20 menit. Naik speedboat tentu lebih lekas tiba. Sungai Kallo kami belah. Muaranya di laut sana, sebelah pelabuhan Makassar. Kata orang setempat sebenarnya bisa akses lewat laut lalu masuk melawan arus sungai. Dermaga desa Lakkang sedikit lebih baik daripada dermaga Unhas. Warga tentulah sudah terbiasa naik katingting. Ya, mereka naik bayar Rp 3.500,- lalu duduk. Sementara pengunjung seperti kami, harus dilengkapi dengan pelampung. Hah? Padahal anak balita di sebelah saya saja duduk dipangku tanpa alat bantu itu. Desa Lakkang rupanya menjadi sebuah tujuan
wisata baru. Namun belum serius benar diolah, dikelola agar infrstruktur dan aksesnya lebih mudah dan nyaman. Boleh jadi XL Axiata merupakan pihak swasta pertama yang peduli dengan proyek itu. Menjadikan Lakkang sebagai desa wisata. Sertifikasi sebagai kawasan cagar budaya sudah diperoleh. Selanjutnya tinggal pengembangan sumber dayanya saja. Desa ini sesungguhnya menyimpan pesona dan potensi. Ia seperti sebuah potret desa pinggir pantai, namun jauh dari kesan kumuh. Saya punya alasan sendiri mengatakan demikian. Pertama, jalan desa. Bak sebuah trek yang ditata rapi menggunakan konblok sehingga lebar maupun elevasinya teratur. Anda akan melewati rumah dan pekarangan. Tak semua rumah memang berpanggung. Namun mayoritas karenanya selalu dilengkapi dengan tangga. Bagian bawahnya terpakai pula, untuk menyimpan perahu, gudang, juga tempat ternak. Sebagian melengkapinya dengan balai-balai untuk santai-santai. Lakkang jauh dari kesan kering. Bahkan sebaliknya. Teduh, meski sengatan matahari kadang tak bisa ditolerir oleh kulit. Keteduhan itu oleh sebab pepohonan berdiri di sana-sini. Bak memayungi setiap denyut aktivitas warganya. Banyak pohon kelapa yang kemudian buahnya menjadi hidangan bagi para tetamu. Masyarakat yang berjumlah sekitar 1.100 orang itu rupanya sudah sadar kebersihan. Indikasinya adalah pada bagaimana pekarangan itu nyaris tak menampakkan tumpukan sampah. Sementara tempat sampah yang terbuat dari bambu senantiasa ada di setiap depan rumah. Pagar-pagar pun seperti telah diatur tingginya. Ada bambu dan kayu, tak sedikit yang memanfaatkan tanaman perdu. Kalau pun ada warga yang kreatif, biasanya menambahkan pot-potan yang menggantung di pagar. Sekali lagi, takjub saya oleh kreativitas kecil warga. Botol plastik bekas minuman atau air mineral disulap jadi "rumah" tanaman. Sisa potongan tak dibuang begitu saja, namun jadi hiasan bunga-bunga demi memperindah pagarnya. Hmm..seharusnya produsen minuman itu berterima kasih pada warga ini. [caption id="attachment_90691" align="aligncenter" width="423" caption="katingting, perahu dengan mesin 9 PK"]
[/caption] Tak lama mengitari desa itu. Tapi bisa menjadi lama jika Anda sempatkan waktu untuk memahami alam pikiran warganya, menanyakan mengapa mereka bisa berkreasi, sementara orang Jakarta seenak udel membuang botol ke jalanan. Mengapa mereka betah sampai puluhan tahun tinggal, padahal akses ke Makassar bukan persoalan gampang. Anda akan menemukan jawaban. Hidup bukan semata mencari rezeki di luar kandang. Tapi juga memahami dan menyatu dengan alam tempat tinggal. Mereka tak kurang padi, karena ada sepetak sawah di dekat dermaga. Mereka bisa kapan saja makan ikan, karena sang lauk tinggal dijala atau dipancing. Di kota, sebuah kelapa muda bisa seharga 10.000 perak. Di sana gratis asal berani panjat pohon. Ibu-ibu dan kaum perempuan, bukan lagi sekadar menjadi penjaga rumah tangga. Mereka bisa memanfaatkan hari-harinya bekerja pula tanpa meninggalkan rumah. Cukup dengan berkreasi menganyam atau apapun keahlian karsa dan hasta melahirkan karya yang khas. Air sudah mengalir sampai ke pelosok. Listrik pun membiarkan lampu menyala. Jaringan seluler telah menghampiri agar komunikasi berjalan. Tentu saja fasilitas-fasilitas ini terpakai agar warga tak tertinggal. Kantor aparat sudah tersedia, namun tampaknya hanya untuk sekadar sebuah tempat administrasi saja. Sebab, tak perlu ada urusan berbau kejahatan atau perselisihan. Berselisih dapat dituntaskan dengan adat. Jahat? Sudah pasti tak ada tempat. "Pencuri saja tak berani masuk ke mari," ujar seorang tetua. Mau tau alasannya? Maling tentulah punya logika. Dan, sungguh pandir jika ia harus bersikeras untuk nyolong lalu tak sempat pergi akibat sudah digadang massa warga. Mau ke mana dia lari? Berenang? Atau bawa rakit? Jadi sia-sia saja. Pemda Makassar menetapkan wisata merupakan dasar dari pemberdayaan desa Lakkang. Titik tolaknya dari kearifan masyarakat itu, juga alamnya yang meliputi tanah halaman dan sungai yang memagarinya. Jika pun ada potensi kesejarahan ini akan melengkapi. Seperti gua eks bunker prajurit Jepang di Perang Dunia II silam. Sehingga ketika wisatawan datang, mereka pulang dengan membawa kearifan itu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya