Mohon tunggu...
Andra Nuryadi
Andra Nuryadi Mohon Tunggu... -

CREATIVE ADDICTION

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tipu-tipu Penjual On-line

6 September 2014   07:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tipu-tipu jual-beli on-line bukan “barang” baru. Ini sudah cerita lama, yang kian marak gara-gara internet bisa diakses di mana-mana. Gara-gara orang kian gampang bikin situs sendiri atau blog asal-asalan. Modalnya cuma internet dan nomor telepon seluler. Pelaku yang paling masuk golongan berani adalah pedagang gawai yang mengaku tinggal di Batam. Mereka ini satu-dua bikin seolah-olah punya took dan sedia stok melimpah. Lalu bikin blog isi pamer barang dagangan. Biar dibilang resmi dan ramai pembeli, pada  laman blog-nya ditingkahi dengan komen-komen orang. Mereka ini anggaplah konsumen yang telah merasakan serunya bertransaksi dengan si empunya toko. Benar atau tidak, asli atau palsu, kita taka da yang tahu. Dan, inilah dunia internet. Anda patut curiga, sebab bagaimana mungkin semua komentator ngomongnya sama, seperti tak ada kalimat lain.

Yang ada modal dikit kemudian pakai SMS. Teks dagangan gawai murah banting harga  sebanyak maksimal 160 karakter disebar secara acak. Gawai A umpamanya, di toko resmi dibanderol 4 juta. Versi pedangan tipu macam ini bisa hanya 1 juta. Barang asli?

Entah lah. Sebab bisnis model begini yang sumir, ada rupa-rupa status gadget. Dari yang orisinil, blackmarket, refurbish, sampai palsu. Apa bedanya? Secara kasat mata baru bisa terjawab jika Anda tahu persis barang aslinya.

Calon konsumen yang tergiur tak sedikit. Maklum, siapa yang tak kepincut dan ingin lekas-lekas sabet produk murah?

Celakanya, ketika mereka diajak untuk CoD (Cash on Delivery), rata-rata ogah. Maunya, mereka lah yang mengatur cara pembelian. Prosedurnya; setelah lihat foto (yang kadang pun foto download-an), harga cocok, selanjutnya transfer uang. Barang akan dikirim kemudian.

Yang tertipu, banyak sekali. Bukan cuma mas Roy Suryo. Ada yang mengaku beda seri dari seri yang disepakati dijual. Ada yang barangnya tak datang-datang. Ada juga yang menerima barang dengan kondisi rusak. Lalu, ada pula yang memperoleh barang palsu, dan ia sadar setelah diberitahu oleh media misalnya.

Kesempatan berjualan kian mudah, setelah media sosial mengakomodasi. Peluang makin besar ketika toko-toko on-line C to C (Costumer to Customer) dibuka dan boleh promosi gratis. Pemilik on-line shop macam ini tak bertanggungjawab atas terjadinya persoalan atas transaksi. Sebab mereka memang hanya bertugas menyiapkan marketplace. Lain hal dengan toko on-line B to C (Business to Consumer) yang punya modal besar jualan produk dari para merchant atau partner.

Saya pernah iseng-iseng mentes kebenaran sebuah toko yang mengaku punya situs dan toko biasa. Hasil dari sebuah SMS yang  mampir ke ponsel. Apa yang terjadi?

Toko tersebut hanya fiktif. Situsnya pun gratisan atau lebih tepat kita juluki blog. Alamatnya tak jelas. Nomor telepon yang dituliskan banyak dan tak ada satupun nomor telepon resmi atau minimal PSTN. Jadi bagaimana  kita percaya?

Ia menggunakan email generik karena gratis. Nomor account bank-nya cuma satu karena ya cuma punya satu rekening. Masih untung jika rekeningnya bisa dilacak kayak peristiwa yang dialami mas Menteri Pemuda dan Olahraga itu. Kadang, pakai rekening orang lain. Sehingga kalau pun dilacak susah betul prosesnya.

Mereka juga bukan sebuah badan usaha walaupun berstatus UMKM. Mereka umumnya perorangan atau kelompok yang tidak punya ikatan dan naungan sebuah badan.

Tawaran harga murah sampai banting diskon besar juga bisa jadi indikasi penipuan. Logika saja, bagaimana bisa untung kalau kembali modal saja tak mungkin.

Beginilah dunia on-line shop terutama yang mempertemukan penjual dengan status tidak jelas dengan pembeli biasa. Tingkat risiko kena tipu cukup tinggi, kalau kita tidak paham benar siapa dan bagaimana si penjual itu. Cara transaksi paling aman adalah kembali seperti cara tradisional. Ada barang, ada uang. Cash on delivery. Barang rusak atau tak sesuai janji, uang tak datang.

Jadi musti fair, kalau penjual ingin dibilang jujur dan kredibel. Kelak, toh kredibilitas itu sendiri yang mengantarkan dirinya untuk dipercaya oleh lebih banyak orang. Bagi konsumen, kehati-hatian musti tinggi. Lah, mas Roy Suryo yang paham banget  dunia IT bisa kena tipu, gimana kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun