Mohon tunggu...
Andra Nuryadi
Andra Nuryadi Mohon Tunggu... -

CREATIVE ADDICTION

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Comfort in Uncomfort

29 Agustus 2014   16:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu lalu, mengisi bahan bakar tanpa perlu antre. Minggu lalu sampai hari ini, kita merasakan antrean panjang, bahkan berpuluh meter jauhnya dari stasiun pompa bahan bakar. Dua minggu silam, cuma butuh 5-10 menit memberi “minum” kendaraan. Hari-hari belakangan, bisa makan waktu 30 sampai 45 menit. Situasi yang tidak nyaman. Bahkan lalu muncul adegan adu mulut lantaran emosi telah mendidih.

Sebagai manusia, barangkali tuntutan dari kehidupan kita adalah mencari kenyamanan. Dan, kenyamanan itu membuat kita lalu jauh dari persoalan. Pada titik tertentu, kenyamanan lantas menjadi sebuah area atau bahkan puncak dari proses menjalani hidup itu sendiri. Ketika bersinggungan dengan ketidaknyamanan lalu diri kita berupaya berontak untuk menolak. Mendekati pun tidak. Lalu kita pun mengeluh dan mencari biang dari ketidaknyamanan tersebut.

Apa yang terjadi jika suatu ketika, ketidaknyamanan mengantre isi bahan bakar ini berlangsung lebih dari dugaan orang? Lama dan semakin lama?

Cepat atau lambat, kenyamanan akan berubah menjadi ketidaknyamanan dan itu berlaku bagi siapa saja. Bahkan kita tak punya waktu lagi untuk bersumpah serapah mencaci para pembuat dan pelaksana kebijakan atas ketidaknyamanan. Sementara tidak ada satu alternatif pun untuk menjauh dari ketidaknyamanan itu.

Pada saat demikian, kita dihadapkan pada dua pilihan, yang sama-sama tidak nyaman. Seperti kata teman saya yang sudah bertahun- tahun terjebak kemacetan ketika berangkat ke kantor. Tak ada jalan alternatif, tak ada opsi selain mengikuti arus kemacetan. Ini pilihan pertama. Pilihan kedua, menaiki kendaraan umum atau bersepeda. Memilih opsi ini sebenarnya ia juga dihadapkan pada pilihan yang tidak nyaman atas kenyamanan yang ia rasakan selama mengendarai kendaraan pribadi.

Tetapi, bagi teman saya tersebut, kedua pilihan tersebut sesungguhnya bisa dibuat nyaman. Ia makin kreatif, dan merubah setingan pemikirannya, bahwa kendaraan saya seharusnya tak ubahnya seperti kamar atau living room rumah saya. Kreativitasnya diwujudkan dalam bentuk membuat senyaman mungkin situasi tak nyaman itu dengan musik, kopi seduhan yan tersedia saban pagi, dll.Mungkin juga berangkat lebih pagi agar kalau pun terjebak macet, tak sampai akan terlambat. Ia membuat dirinya agar emosinya stabil tak meledak.

Di saat memilih menaiki kendaraan umum, ia pun membuat kenyamanan-kenyamanan dalam wujud lain. Sehingga minimal ia tak terganggu oleh ketidaknyamanan oleh sesak dan bau. Daya kreatifnya diuji untuk membuat dirinya tetap nyaman. Di sisi lain, kemampuan survive-nya dibentuk untuk sanggup “melawan” ketidaknyamanan dengan kenyamanan yang ia buat sendiri.

Ia juga menganggap bahwa sisi lain yang paling penting sesungguhnya adalah tentangberubah dan perubahan. Ia harus berubah karena situasinya sudah tidak memungkinkan jika mengikuti kenyamanan yang ia rasakan. Maka perubahan pemikiran, perilaku dan gaya hidup memang harus dilakukan jika tidak mau terkalahkan oleh ketidaknyamanan.

Jadi benar, bahwa kenyamanan itu sifatnya tidak abadi, tidak puncak. Umumnya daya kritis, kreatif dan produktivitas kita lalu melemah ketika berada di kondisi tersebut. Pada perusahaan-perusahaan tertentu seringkali justru ketidaknyamanan itu “diciptakan”. Survive dijadikan kata kunci. Semangatnya adalah agar setiap orangterus berjuang, bergumul dan bekerja keras.

Tetapi bukan berarti bahwa setiap orang lalu tidak nyaman. Sebaliknya mereka mencari kenyamanan dari ketidaknyamanan tersebut. Dan kenyamanan itu mereka buat agar lebih mampu berjuang dan bekerja keras demi menghasilkan sesuatu yang paling tinggi. Kenyamanan dibikin untuk sesuatu yang produktif, dan bukan sebaliknya. Comfort in uncomfort. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun