Mohon tunggu...
Andra Nuryadi
Andra Nuryadi Mohon Tunggu... -

CREATIVE ADDICTION

Selanjutnya

Tutup

Politik

7 Jargon Klasik Para Caleg

23 Desember 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_310592" align="aligncenter" width="300" caption="www.cartoonacademy.blogspot.com "][/caption]

Pesta belum pula dimulai, tapi beberapa kontestan sudah mulai unjuk gigi. Dari sekadar nempel stiker di kaca mobil sampai cari simpati mendekati kunstituen. Dari artis, politikus lama, sampai sarjana jebolan wisuda tempo hari. Janji klasik berupa jargon-jargon lawas dilepas. Banyak obral kata, tapi tak jauh dari soal tujuh jargon usang yang justru kerap kali tanpa bukti. Apa saja ketujuh jargon itu?

1.Anti dan Lawan Korupsi

Ini janji paling jitu demi meraih simpati. Maklum korupsi adalah bahaya laten, mengusung isu anti korupsi jelas punya daya tarik. Walaupun sesungguhnya justruurusan paling dekat dan sensitif dengan para legislatif. Sumber korupsi darimana lagi jika bukan dari APBN. Para legislatif punya hak untuk membuat dan mensahkan anggaran negara. Anggaran negara terbesar berasal dari pajak. Pajak tak lain merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara. Jadi, pajak adalah uang rakyat yang diberikan kepada negara untuk membiayai segala kegiatan negara. Pertanyaan kepada calon legislatif kemudian adalah dengan pendapatan sektar Rp 60 juta perbulan, sehingga setiap tahun negara membayar mereka Rp 720 juta, dan dalam masa kerja mereka selama lima tahun total jendral mendapatkan hak gaji sebesar Rp 3.6 milyar. Nah, jika ongkos yang mereka keluarkan untuk masa kampanye saja sudah habis Rp 4-5 milyar,jelas pendapatan selama jadi anggota DPR tak pernah akan mengembalikan “modal” yang dikeluarkan. Jika mereka pun berpikir politik perlu investasi dalam bentuk materi. Jadi jika muncul dugaan bahwa jalan satu-satunya menggantikan biaya politik itu adalah melalui “pengaturan” anggaran negara sangat wajar. Dengan kata lain, ya lewat korupsi itulah. Hati-hati dengan janjiseperti ini, sebab hampir tak kita temukan konsep anti-korupsi yang matang dan applicable dari benak para legislatif. Yang ada adalah ungkapan anti-korupsi belaka. Termasuk janji untuk tidak memotong anggaran demi kepentingan pribadi dan golongan.

2.Sejahterakan Rakyat

Ungkapan ini lebih sumir, tak kongkret. Apa yang mau disejahterakan, kaum mana yang hendak disejahterakan, juga bagaimana cara menuju masyarakat yang sejahtera, nyaris tak kita dengar dalam bahasa sederhana dan detil. Lalu bagaimana mengukur bahwa sebuah masyarakat disebut sejahtera secara merata? Umumnya menggunakan parameter berkurangnya persentase kemiskinan. Padahal kesejahteraan mencakup kenyamanan hidup, kecukupan moril dan materil, jaminan atas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak saja bicara tentang faktor sosial dan ekonomi semata. Patut dipertanyakan adalah kejelasan cara dan indikasi kesejahteraan itu sendiri. Harus praktis namun juga taktis. Jika terlalu umum dan klasik, sebaiknya minta kepada yang bersangkutan untuk lebih memahami apa makna dari kesejahteraan rakyat. Jangan-jangan mereka pun tak paham.

3.Perubahan dan Restorasi

Perubahan penting dalam dinamika kenegaraan. Rakyat butuh perubahan tentang sistem dan birokrasi yang menyulitkan, aturan dan norma yang tidak sesuai dengan pola kehidupan kekinian. Janji berani melakukan perubahan musti diikuti dengan ukuran terhadap apa yang hendak mereka ubah. Parameter perubahan dan bentuk dari restorasi yang mereka dengungkan mustilah bukan dalam konsep umum semata. Konsep yang sejatinya sehari-hari sudah rakyat tahu dan pelajari dari buku-buku pendidikan kewarganegaraan. Sementara mereka pun tak paham perubahan dan wujudnya sendiri. Akan sekuat apakah Indonesia di masa lima tahun mendatang, misalnya. Lalu bagaimana data-data akan membuktikan bahwa kita telah mengalami perubahan. Statement paling kerap ditawarkan oleh caleg atau parpol adalah "Menuju Indonesia Baru". Istilah "baru" identik dengan hal positif, terlebih jika muncul dari kondisi yang tidak baik. Namun menjadi sekadar jargon ketika pelontar gagasan tak diiringi dan didasari dengan argumentasi kuat, data dan fakta yang faktual, juga deskripsi mendetil tentang format Indonesia Baru. Jangan-jangan hanya secara fisik Indonesia baru yang ditandai dengan pembangunan sarana dan prasarana pun sudah dianggap sebagai bentuk baru. Salah kaprah.

4.Menyuarakan Hati Rakyat

Sedangkan mereka sendiri tak mengerti hati rakyat. Lantas, apa yang akan disuarakan. Yang kerap terjadi, mereka coba-coba jadi pahlawan di siang bolong, ketika sebuah peristiwa telah terjadi. Dari sini saja kita bisa melihat dengan terang, wakil rakyat sendiri tidak berhati rakyat yang dengan segala keberaniannya menjadi orang terdepan sebelum sebuah kejadian tiba-tiba menjadi pelajaran. Rakyat yang tak bisa berobat di rumah sakit, kemudian diwacanakan saat telah terjadi peristiwa yang diletuskan oleh media. Kemana saja mereka sebelum ini? Maka, tanyakan bagaimana para caleg itu mengerti hati kita, rakyat, sebelum lalu menyuarakan. Tahukah mereka bahwa hati kita sangat geram dengan cerita Hambalang yang malang-melintang. Jika mereka tak jujur mengakui perbuatannya, maka bagaimana mungkin bisa memahami hati rakyat? Bukan kah justru bertentangan dengan hati rakyat yang tengah marah?

5.Bekerja Keras untuk Rakyat

Dalam konteks bekerja setidaknya ada dua hal yang diperlukan; otaknya berpikir dan ototnya bekerja. Otak seorang pejabat publik tak dibutuhkan jebolan S2 atau selebihnya. Otot seorang wakilpublik juga tak diperlukan alumni tentara. Bekerja memadukan otak dan otot penting untuk menentukan target. Dalam bekerja ada pula key performance. Mustahil berani bicara bekerja untuk rakyat tanpa ukuran. Apalagi bila objective-nya adalah rakyat. Jadi, sebaiknya ketika menjanjikan bekerja keras untuk rakyat wajib dibarengi dengan keberanian membeberkan KPI-nya (key performance index), yang bisa saja dibuat secara mandiri demi memberi bukti yang sebenar-benarnya dan nyata. Jika tak paham KPI, sebaiknya mulailah belajar sedari sekarang. Berani bikin KPI, berarti berani akuntabel, dan berani untuk undur diri jika KPI tak tercapai. Biar rakyat pun tahu kemampuan Anda sampai di mana. Seberapa kata “keras” itu nyata dijalankan.

6. Bersih, Tegas dan Berwibawa

Terus terang saja, siapa yang bilang pribadinya bersih, tegas dan berwibawa sesungguhnya ia seorang narsistik. Apalagi bila tak ada satu pun bukti konkret atas tiga frase tersebut. Bersih selalu identik dengan anti-korup. Tegas berkaitan dengan cara memutuskan sesuatu. Sedangkanwibawa lebih menyatakan tentang citra kepemimpinan atas kemampuan menghadapi sesuatu secara fair dan menjadi tauladan. Bagaimana mengukur seseorang bersih, tegas dan berwibawa sementara tidak pernah ada track record atau justru sebaliknya, perjalanan kekariran dan kepolitikannya pernah tercederai oleh kebodohannya sendiri? Kita lalu bertanya, bagaimana Anda layak disebut bersih, tegas dan berwibawa? Ini sama halnya dengan Anda sendiri bilang ganteng dan keren, sementara dimensi demikian bersifat sangat relatif. Jadi, agar tak menjadi relatif, siapapun yang berani bilang bersih, tegas dan berwibawa musti punya standar "kebersihan", "ketegasan" dan "kewibawaan" yang eksak. Jika ia sendiri tak tegas membuat standar, bisa dijamin ujungnya adalah bersih, tegas dan wibawa dengan warna kelabu. Atau bahkan hanya pemanis mulut belaka, jauh panggang dari api. Hati-hati.

7.Sudah Terbukti

Dalam janji, kadang bukti juga perlu dilontarkan. Walaupun bukti seringkali tak cukup untuk menjadi jurus pemikat. Mengapa? Bukti-bukti yang disodorkan umumnya berskala lokal belum menasional, bukti juga tidak menyeluruh, masih parsial yang justru bukan hal-hal yang yang bersifat esensial. Lihatlah bagaimana banyak pejabat publik yang tak mampu berbuat sesuatu ketika menghadapi persoalan yang jauh lebih besar. Seakan kemampuan yang telah ia buktikan tak bisa lagi dipergunakan. Mandul dan kemudian jadi bulan-bulanan lawan politik. Jadi selain bukti musti dibarengi dengan cara menghadapi. Dengan begitu, konstituen yang dibidik mendapatkan pemahaman yang kolaboratif, menyeluruh. Walaupun dengan cara ini pun kadangkala tidak bisa dijadikan sebagai jaminan. Kurang bukti apa Chris John membungkam lawan-lawannya, hingga akhirnya tersungkur jua. Namun Chris menyadari bahwa ia sudah tak mampu lagi karena waktu tak bisa berkawan lagi. Politikus dan caleg yang sadar kemampuan, walaupun punya bukti segudang, belum tentu ia andal di masa depan.

Nah, sebaiknya jangan mudah terbujuk rayu janji-janji tanpa rencana detil. Rakyat sudah cukup pintar kok menilai. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun