Crass…
Darah berceceran dari luka menganga di bahu kiri. Dan pria bajingan itu seolah mendengkur kencang menahan tawanya yang menjijikkan atas penderitaan saudara perempuanku.
Yang aku tau, orang ini bukan mau membunuh saudara perempuanku, ia bisa melakukannya dengan cepat. Aku tahu itu, sebab meski “terkungkung”, aku dapat melihat dengan jelas aksi bajingan itu.
Dia… hanya ingin melihat saudara perempuanku menderita. Berada di titik terlemah manusia: ketidakberdayaan, dalam siksa yang aku tahu pasti lebih baik mati daripada harus mengalami itu.
Sebelum berada di tengah situasi mengerikan ini, aku telah membuat laporan kepada pihak yang berwajib: saudara perempuanku, menghilang, dan itu telah seminggu lamanya. Mereka tidak menemukan keberadaan saudara perempuanku.
Dan—tentu saja. Setelah aku pun “dibawa” ke ruang bawah tanah ini, baru kuketahui, ternyata saudara perempuanku justru ada di sini. Ruang pengap di bawah gudang belakang rumah kami sendiri, terikat di sebuah kursi tua dengan mulut disumpal kain serbet.
Kata kebodohan menempeleng kuat kepalaku. Gudang ini, tempat kami bermain dulu saat kecil—termasuk, ruang pengap ini. Tempat pelarianku kala ibu memarahiku, dan dengan segala cerita tidak menyenangkan mengiringi.
Kenapa tidak terpikirkan olehku?
“Emhhh… Emmh…”