Yang dibela, belum tentu membela. Belum tentu benar adanya. Adab dunia, jauh melampaui aturan surga. Tak kenal siapa Anda, apa itu agama. Suka, lakukan saja. Persetan pada apa yang nanti ‘kan menimpa. Lantas untuk apa?
Mengapa menghabiskan ludah untuk bersabda?Â
Yang dicaci, belum tentu membenci. Belum tentu pula ia tak suci, sebab iblis punya cara keji. Selalu menepati janji, pada Ilahi. Menggiring anak keturunan Adam ke liang tak berdasar tak berperi. Di mana nanti, kau akan menangis tiada henti. Dan semua menjadi tak berarti.
Mengapa menghamburkan energi diri pada hal tak pasti?Â
Yang disanjung, belum tentu agung. Pernah lihat pelangi di ujung lembayung? Indah jika kau beruntung, tapi hanya terkutung, serbatanggung, janji keindahan yang menggantung. hanya sebentar dan lalu menghilang di balik gunung. Meninggalkan kau hanya untuk tercenung. Mematung. Bingung. Limbung...
Mengapa menyiksa otak kanan memeras imaji tak berpangkal tiada berujung?Â
Yang dihujat, belum tentu bejat. Ini bukan lagi zaman pendekar silat. Apa tidak pernah mengerti dengan kata penat? Tidakkah banyak cerita dalam keyakinanmu yang membawa hikayat? Cerita bagaimana membawa baiknya sikap dan sifat?
Mengapa memaksa otak kiri merangkai keburukan di depan ulayat, masyarakat, rakyat?Â
Tidak selamanya diam adalah emas. Tidak pula memilih untuk diam adalah emas. Sekali saja bisikkan dalam pikir yang bernas. Bagaimana nanti semua hujat dan cela yang keras, bertemu dengan anak keturunan sendiri yang diharap berkelas? Atau kata puji dan puja yang bablas, menjadikan keturunan orang-orang yang pemalas?
Tidakkah itu menyakitkan?Â
Alam berkembang menjadi guru. Tidakkah bisa melihat itu?