Aku pucuk dalam rona nyaris tak berwarna. Pucat. Tiada pilihan yang tersisa, hanya takdir yang tak pernah sirna, tiada pernah kuingkari; mengejar hangatnya selimut mentari. Menempa nur keagungan menjadi siur kesegaran, tiada banyak pilihan yang diberikan. Tapi janji tetap kujalankan.
Aku pucuk rona terlalu bias berlainan, yang sebentar lagi mekar menjadi daun-daun muda. Pasrah diri pada apa yang menimpa.
Aku pucuk yang terpaksa menerima, kata-kata vulgar dan carut-marut keinginan. Yang selalu dicari pada lain konotasi, pemenuh hasrat yang menggeliat. Dalam raga terbaik yang pernah diberikan.
Aku pucuk… yang akan terus mendahului hari. Menyapa mentari. Bermain riang dalam balutan embun tersisa di kaki fajar.
Aku pucuk yang terus kan tumbuh, tiada peduli pada apa yang meracuni tubuh.
Aku… pucuk. Pertanda bagimu… masih ada asa pada kehidupan yang baru.
Â
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 24 januari 2016.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^