Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Merah-Putih Pascaperayaan

21 Agustus 2014   10:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14085649781687188729

[caption id="attachment_354277" align="aligncenter" width="614" caption="foto koleksi pribadi"][/caption]

Merah-Putih Pascaperayaan

Lusuhnya kain bendera,

Di halaman rumah kita,

Bukan suatu alasan,

Untuk kita tinggalkan…

*

Saya rasa, semua kita hafal dengan lagu Bang Iwan Fals tersebut. Minimal, pernah mendengar. Entah itu di dalam angkutan umum, atau pun di toko-toko kaset yang pernah kita lewati.

Saat saya membaca sebuah artikel di Kompasiana yang berjudul; Mendadak Nasionalisoleh Mas Agung Han pada tanggal 18 Agustus 2014 yang lalu. Saya jadi kepikiran terus. Dari judul artikel itu sendiri, saya sudah merasa tertohok. Entah Mas Agung Han menyindir atau bagaimana, yang jelas saya berterima kasih sebab seolah diingatkan – ditegur.

Begitu banyaknya artikel tentang rasa nasionalis – baik di Kompasiana sendiri maupun dari media lain, termasuk televisi. Setiap kali membaca, mendengar, dan melihat (menonton) hal-hal menyangkut nasionalis, jika boleh jujur… membuat saya merinding. Haru, bangga, dan perasaan lainnya yang membersitkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam diri. Mungkin juga, karena momen yang tepat untuk itu – menyambut Dirgahayu NKRI. Dan saya sendiri pun membuat beberapa puisi, cerpen, dan artikel untuk itu.

Pertanyaannya adalah: Benarkah kita seorang nasionalis? Atau hanya sekedar ikut-ikut kemeriahan semata? Mendadak Nasionalis?

Jadi, setelah saya membaca artikel Mas Agung Han, besoknya, saya niatkan untuk mencari (sedikit) kebenaran tentang itu – tentang Mendadak Nasionalis. Sebab meriahnya penyambutan Hari Kemerdekaan begitu terasa gempita. Ternyata benar! Karena, jujur saja dari dulu saya sering menemukan hal-hal ganjil, terutama menyangkut bendera negara kita – Merah Putih.

Foto bendera di atas saya ambil di depan sebuah mal. Seingat saya, dari dua tahun yang lalu, Merah-Putih itu dibiarkan begitu saja, tidak pernah diturunkan. Merah tidak lagi merah, Putih pun begitu pula. Kusam, bagian ujung Putih bawah bekas tambalan, dan bolong. Bandingkan dengan umbul-umbul merah putih di kanan bawah. Jauh berbeda. Dan yang membuat saya miris, padahal di samping mal tersebut ada pos polisi, tapi mereka seolah tidak tanggap.

Parahnya, di depan pos polisi itu pun Merah-Putih mengalami hal serupa. Saya tidak diizinkan mengambil foto oleh Bapak-Bapak polisi itu. Sorenya saat saya pulang, mereka telah mengganti Merah-Putih yang lebih kusam dari Merah-Putih di mal dengan Merah-Putih yang baru.

Saya cukup terhenyak. Meski, banyak kejadian serupa sebelum ini. Begitu meriahnya penyambutan HUT NKRI yang kita lakukan, pada akhirnya hanya sebuah pesta yang… yaah, seperti pesta ulang tahun anak-anak.

Bendera yang dibentuk segitiga, bergeletakkan begitu saja. Di jalanan, dalam got, tong sampah. Begitu juga dengan pernik Merah-Putih lainnya. Kalau bukan dibuang, dibakar, yaa jadi pembungkus sesuatu. Atau… seperti di mal itu, bendera dibiarkan lekang di panas, dibiarkan lapuk di hujan, sobek di deru angin.

Sebegitu rendahkah pengertian Merah-Putih dalam diri ini?

Tidakkah berpikir jika Merah-Putih didapatkan dengan taruhan harga diri dan nyawa anak bangsa?

Begitukah perlakuan pada simbol negara?

*

Di bawah ini saya masukan film pendek yang kami (saya dan bersama teman-teman dari BSI Cengkareng) buat pada Januari yang lalu. Yaah, short-movie yang menggambarkan apa yang terjadi pada Merah-Putih, yang saya rasa kita pernah melihat/mengetahuinya, namun tidak ambil pusing akan hal itu.

*

Ada satu falsafah sangat penting dan mendalam yang kami masukan dalam adegan. Yakni: tiga ranting yang disatukan oleh tali rafia – tali plastik.

Tiga ranting; adalah pelambang Indonesia Barat, Tengah, dan Timur.

Tali rafia; adalah pelambang pengikat kita (pemersatu) karena jujur saja, kita memang bersatu tapi tidaklah kuat. Sedikit saja isu dihembuskan, maka perang saudara tak bisa dielakkan – perang antar warga, tawuran antar pelajar, dsb.



Salam dari saya yang mencintai NKRI

Ando Ajo, Jakarta 21 Agustus 2014

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun