Dulu, pada masa yang lampau. Ibunda pernah bercerita pada anak-anak yang akan pergi merantau. Yang ia tahu pasti akan membuat hatinya risau. Pada keselamatan sang anak yang membuat resah dan galau.
Ibu berkata…
“Nak, inilah dunia. Megahnya hanya sementara, selalu tersembunyi luka, pada dirimu pada dia pada mereka, pada kita.”
“Nak, kepala boleh sama hitam. Tapi isinya sungguh pasti berbeda-beda.”
“Baik kata kita, belum tentu baik kata mereka. Buruk kau ucapkan, belum tentu buruk kata mereka.”
“Apa pun yang kamu dia dan mereka lakukan, pastilah ada cela di setiap mata yang melihat.”
“Sebaik-baiknya kita, pasti ada saja salahnya di mata orang. Pun, sebaliknya. Sebaik-baiknya orang, pastilah ada cela di matamu, Nak.”
“Nak, terlalu membenci akan menjadikan apa pun yang orang lakukan tetap saja sesuatu yang salah di matamu, Nak. Selalu saja ada kesalahan, kendati apa yang orang lakukan mungkin saja benar.”
“Terlalu mencintai pula berakibat tidak baik, Nak. Tidak baik. Sedikit saja kecewa itu menghampiri hatimu, dirimu, kau akan tenggelam bersamanya, Nak. Rasa kecewa akan memaksamu terhenyak, maka kebusukan akan mengambang menutupi akal pikiran.”
“Inilah lumrahnya dunia, Nak. Tiada gading yang tak retak, sebab tungau di seberang lautan selalu saja jelas terlihat sedang gajah di pelupuk mata terabaikan.”
“Nak… bumi mana yang tak akan basah bila hujan turun mencurah? Bumi mana yang tidak akan gelap meski sekejap saja? Bagian tubuh mana yang tidak merasakan sakit bila satu bagian saja terluka?”