Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kultur. Aku, Kamu, Kalian, dan Mereka

2 Mei 2015   15:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14305558861758147576

Kultur. Aku, Kamu, Kalian, dan Mereka.

Kususun jari yang sepuluh, bungkukkan tubuh bukan bersimpuh. Sebab sujud hanya pada Tuhan yang utuh. Berharap tuan tidak mengaduh, puan pula tak akan mengeluh. Pada perkataan diri nan lusuh. Tapi biarlah… semoga bisa menjadi suluh.

Ujud kata adalah buah, dalam rundingan bulat musyawarah. Berbulat mufakat, hinggakan didapat keputusan bermanfaat. Pada kami ulayat, rakyat. Teruskan sampai terbaginya ilmu, terlahir berputik amal, berbuah kebaikan. Langkah diri diujung pedang, bersilat dipangkal keris, kalimat selalu berumpama, musyawarah banyak dalam kiasan. Terlahir kulit membungkus rasa. Bila merisik pandanglah isi, sebab kulit berpandangan lain.

Pada diri lahirnya niat, pada niat terkandung hakikat. Bila persoalan bebat mengikat, jangan meniru kucing menggigit belikat, ribut menguar kata menghujat.

Pandanglah adat dalam budaya, berakyat dahulu baru beraja, lihat penghulu berkemenakan. Patahkan keris hanya di dalam sarung, jangan terlihat si orang lain.

Bila sekali air membesar, maka tepian ikut berpindah. Musim ke masa ganti berubah. Menjejak bekas pada diri, kita dan mereka. Sudikah diri ikut bertingkah, atau pikir dulu dalam pelita hati? Sepatah kata pelambang diri, berjalan selangkah pandanglah ke belakang. Baik buruk bercermin diri, jangan menurut hati membangkang. Ingat-ingatkan si badan diri, sebelum jatuh, jauh melangkah. Hinggap mencengkeram batang, terbang pun bertumpu pada dahan. Hidup bertempat, mati berkubur.

Isi dan kulit zahirnya badan, genggam erat dalam ajaran, berpegang teguh sendi kearifan. Sebab jalan beralih karena orang berlalu-lalang, cupak pula mengecil karena pedagang. Budaya luhur warisan tua, satu per satu hilang, terkikis secupak budaya yang dibawa asingnya orang. Sebab anak cucu jatuh ke kubangan, yang tua-tua tiada menaruh perhatian. Tiada telinga mendengar bisikan.

Jangan mengecap ketagihan, pada rasa manisnya kehidupan, seperti semut yang mati di tengah hamparan gula berserakan.

Jangan dicampur durian dan mentimun, sebab bau berlainan rasa. Jangan diperdekatkan api pada sekam, sebab panas tiada kehabisan. Turutlah jalan pasar, agar bisa menempuh jalan besar. Agar tiada lagi takut hilang diri tak tentu rimba, tak akan pernah gentar hanyut meski tak tahu di mana muara.

Anak ikan dimakan ikan, besar di kolam si anak tenggiri. Emas bukan perak pun bukan, budi sedikit pasti orang hargai. Anak nelayan membawa cangkul, menanam ubi di tanah darat. Beban sekeranjang dapat dipikul, budi setitik terasa berat.

Antan berjatuhan patah tiga, semut terinjak tak akan mati. Terendam lama tiada kan basah, terombang-ambing mengapung diri tiada kan hanyut.

Membungkuk tubuh diri kata bersudah, bersurut langkah diri beringsut.

Ampun dan maaf dalam kerelaan, bila kalimat tiada bertempatan.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DIATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 02 Mei 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun