Kusyairkan kembali…
Pada masa di mana hati tak lagi berperi. Lewat setengah milenium waktu diberi, semenjak Isa putra Maryam menjadi penyejuk bumi.
Sebab ajaran tak lagi menjadi tameng diri, ketika moral diperjual-beli, lengkingan serunai panjang lantang bebunyi. Menebar takut tak terperi, bala bencana datang menjadi-jadi. Adalah Abrahah menunggang gajah mengumbar sakti. Niat menaklukan Mekkah begitulah ambisi. Malang kecongkakan menguasai diri, hujan kerikil dari kaki-kaki Ababil meluluhlantakkan setiap jengkal diri.
Bukan satu kebetulan, ianya settingan dari Tuhan, menyambut mulianya kelahiran. Api suci yang dibangga-banggakan, yang selalu menyala ratusan tahun dalam hitungan, tetiba padam tanpa siapa pun mengerti keadaan, kecuali hati-hati yang berhiaskan kesucian, seperti Pendeta Buhaira yang teladan.
“Kenapa api suci kami padam? Padahal tiada angin kencang berhembus…” lolong mereka dalam ketakutan.
Kegelapan memayungi malam, Mekkah mencekam. Ka’bah tersiksa gelap kelam, rumah suci pertama yang dibangun anak manusia setelah Adam, oleh Bapak umat Ibrahim ‘alayhisallam.
Kegusaran dan bayang keributan jatuh hening. Tenang. Tiada derik jangkrik, tiada nyanyian burung malam. Tidak pula kepak sayap kelelawar. Sunyi…
Alam… tertunduk.
Keheningan dipecah suara tangisan, lengkingan dari mulut bayi merah tak berayah seakan harapan dalam kegelapan yang membungkam.
Ia, yang lahir dalam gendongan para bidadari
Ia, yang terlahir tanpa sosok ayahanda di sisi