Hari ini aku biru, seperti langit junjungan ibu. Polos suci layaknya bayi baru, tetap tenang meski badai menderu… Teteskan bulir-bulir haru, meski pandangan dalam ranah yang saru. Dan aku, ‘kan tetap menikmati itu. Dalam keramaian… bisu.
Setengah hari yang lalu aku hijau. Bak zamrud dalam kemilau, hanya ingin dipuja tatap silau. Tersungkur diri coba menjangkau, resah mendera diri kian merisau. Diri kecil tak lebih dari tungau. Pekik kering kerontang layaknya kemarau. Tiada yang hirau. Cemas berharap akan tajamnya pisau…
Kemarin aku hitam, seperti selubung gelap selimut alam. Sedikit pun diri tak merasa resah pada kecam. Hahaha, awam. Pernahkah kau mencba pahitnya jadam? Siapa peduli akan dendam? Terus menerus kesal, hantam… bungkam.
Lusa aku merah. Seperti api menyala, merekah. Kadang diam jadi kawan sebelah, tiba-tiba meronta jiwa jadi musibah.
Aku iblis sekaligus malaikat.
Aku insan tapi juga setan.
Aku hantu yang tak saru.
Aku jin dalam balutan jeans.
Ini… sudah malam. Langit dan bumi tempat berpijak… kelam. Esok mentari kembali di timur fajar, harapnya diri ’kan bertemu ajar.
Aku pemilik semua wajah. Rupa berganti bila diri jengah. Dari kemayu hingga gagah, sulit sukar susah… untuk diri memisah. Pribadi diri yang berbilah-bilah… Hanya membenamkan diri kian resah. Tapi kau tahu… aku tidak gundah, tiada pula pasrah.
Atau, mungkin kau yang lengah.