Langkahku semrawut, carut-marut, tak tentu arah, kalut. Depan aku tersungkur, dan terjengkang bila kumundur. Terhempas kencang, kala menyamping. Tiada arah yang kutuju, semua pintu seolah beku. Tak berbentuk, tiada berlekuk. Tak berona, tiada berwarna. Terisak dalam kesendirian, hening di tengah riuh keramaian. Terpaku tanpa ada yang dituju. Menempatkanku pada tapal nyaris keputusasaan.
Selenting kabar menyadarkanku dari lamunan pudar. Sesiur angin membawa kehangatan yang tiada bisa kubandingkan.
Lengking tangismu disahuti kumandang kemuliaan. Meski aksara belum cukup dalam hitungan, meski kepingan-kepingan waktu belum matang dalam perkiraan, namun Tangan-tangan Keajaiban memintamu didahulukan.
Tanpa beban… tiada kekurangan, melebihi pada apa yang kupinta dari kesempurnaan. Engkau hadir memberi ketenangan.
Langkahku seakan ringan, walau kau tiada tahu hidup ini adalah beban. Segala kebekuan mencair bersama rona tidurmu dalam selimut kehangatan.
Jalanku seribu cabang, seribu tujuan. Dan kau lah yang penyebab itu. Segala lelah diri, segala sesak dan kesal diri, segala kebekuan yang memenuhi ruang, segala… bahkan tapal keputusasaan perlahan memuai dalam tangismu, pada gerak tubuhmu, pada rona kemerahan di pipimu, pada… beningnya bola matamu.
Aku, menemukan tujuan… kembali.
Demimu yang akan memenuhi hari-hariku, demi tangismu yang akan menjadi dendang penyemangatku, demimu dan hari depan, jalan ini… tiada terasa beku, tak akan ada lagi lidah yang kelu atau langkah-langkah layu, tak akan…
Bening pandanganmu sebening doa-doa orang-orang suci, yang mampu membangkitkan gairah diri. Bening matamu seindah lantunan kitab-kitab suci, deretan mutiara abadi yang tak mungkin kujengkal dengan langkah kaki.
Beningmu… bagiku, Telaga Al Kautsar, meski tiada kutahu seperti apa itu. Yang kutahu, kau memberi semangat baru untukku, seperti rona merah tembaga sang mentari di pagi hari, menyapa waktu dalam kehangatan yang selalu baru.
Â