Awam Hukum Awam
Salam sahabat Kompasiana.
Maafkan saya sebab kali ini membuat artikel yang berkaitan dengan hukum, meski saya sendiri buta terhadap hukum itu sendiri.
Sekali lagi saya utarakan maaf, ini menurut pandangan saya sebagai awam, pandangan saya sebagai rakyat negeri ini, pandangan saya sebagai orang yang hampir setiap hari setiap saat disuguhi berita-berita kriminal yang membuat tubuh ini merinding, haru, kesal, sesak, dan terkadang memaki-maki sendiri.
Saya hanya mengungkapkan apa yang ada dalam kepala saya, tanpa bermaksud menghasut, dan lain sebagainya.
Ujar-ujar mengatakan; Memaafkan itu lebih baik dari meminta maaf.
Benar, itu benar sekali, saya tidak akan menyanggah pernyataan tersebut. Hanya saja, jika seseorang (pelaku) berbuat sesuatu yang salah tidak dengan kesengajaan.
Tapi ini sepertinya mustahil.
Berapa banyak kasus kriminalitas yang terjadi hampir setiap jam di negeri ini yang penyelesaiannya selalu saja carut-marut. Merugikan para korban (meski yang namanya korban pastilah merugi), walau harta-benda telah ludes demi mendapatkan keadilan di Meja Hijau. Bahkan, lebih banyak lagi kasus kriminalitas yang tak terselesaikan. Padahal, hampir bisa dipastikan 100% jika pelaku kejahatan tersebut jelas-jelas sadar dalam melakukan kejahatannya. Bahkan seakan menikmati.
Saya tidak mengada-ada mengatakannya. Orang mabuk saja (baik alkohol maupun obat-obatan) tidak bisa dibilang tidak sengaja, jika ia melakukan satu tindak kriminal.
Kenapa?
Analisa bodoh dan tolol dari saya adalah; jelas-jelas mereka tahu alkohol dan drugs itu bakal merusak syaraf, melumpuhkan logika, kenapa masih mau menggunakan dan meminumnya? Bukankah ini suatu kesengajaan?
Kasus Ade Sara. Pelakunya jelas-jelas sadar menyekap korban, menyiksa hingga korban tewas, dan membuang jasadnya di jalan tol begitu saja. Ini, jelas dalam keadaan sadar, bahkan kalau saya bilang; mereka justru menikmati proses penyiksaan pada korban tersebut.
Terus, apa pelaku harus dimaafkan dengan hukuman yang hanya 20 tahun penjara?
Hellooo… mereka menikmati lhoo?! Menikmati menyiksa korban.
Kasus Pemerkosaan Siswi SMU oleh kakak kelasnya, mirisnya lagi, justru siswi tersebut dikeluarkan oleh pihak sekolah. Padahal, proses terjadinya pemerkosaan itu sendiri malah direkam menggunakan kamera handphone oleh seorang dari pelaku.
Bukankah itu dilakukan dalam keadaan sadar? Kalau tidak sadar, mustahil dengan merekam segala.
Bagaimana dengan hukuman mereka nanti?
Jangan-jangan pihak sekolah yang mengeluarkan siswi tersebut juga ambil andil dalam proses pemerkosaan tersebut? Jadi, kadung malu, lebih baik keluarkan saja siswi tersebut.
Kasus Penyiksaan Asisten Rumah Tangga yang bahkan terekam oleh CCTV di rumah pelaku sendiri. Mereka sangat sadar, menyiksa para ART tersebut. Membunuhnya, bahkan membuang dan mengubur jasad mereka. Tujuh orang pelaku yang hingga sekarang sudah diamankan Kepolisian.
Masih adakah yang akan memaafkan pelaku? Meski dia wanita sekalipun?
Kasus Perampokan dan Pembunuhan Istanti – warga Kompasiana yang sedang hamil. Pelakunya dalam keadaan sadar, mencekik korban hingga tewas.
Masak iya baru tahu korban hamil setelah korban tergeletak tak bernyawa? Nonsens banget.
Terus, karena dia masih muda, labil, akan diringankan juga hukumannya? Dua nyawa lhoo sekaligus dilenyapkan pelaku – nyawa Istanti dan calon bayinya.
Bahkan kejahatan oleh pelajar. Saya lebih suka mengatakan kejahatan ketimbang kenakalan. Melempari orang-orang dengan cairan kimia, mem-bully, tawuran menggunakan senjata tajam, ikutan genk motor dan menjambret. Semua dilakukan dengan sadar.
Apa kita, mereka, kalian akan mengatakan; dimaafkan saja, mereka masih kecil, muda bla-bla-bla… jadi belum ngerti apa-apa.
Ini konyol sekali, ngapain aja orang tua mereka dan para guru di sekolah?
Dan banyak kasus-kasus lainnya yang berakhir dengan hukuman ringan – teramat ringan – pada para pelaku kejahatan.
Saya sangat sadar, memberlakukan Hukum Islam di Indonesia ini adalah mustahil, sebab di negeri ini Keyakinan – agama – itu sangat banyak. Tapi, apakah kita, mereka, dan kalian harus mengatakan pada pihak korban; Bersabarlah Pak, Bu, Dek, Bang… anggaplah ini hanya ujian dari Tuhan semua pasti ada hikmahnya.
Ha-ha, anak SD saja sudah mengenal kata-kata itu. Tidak perlu diucapkan, diberitahukan.
Yang mereka – para korban, keluarga korban, dll – butuhkan itu, keadilan yang seadil-adilnya. Hukuman berat, bila perlu Hukuman Mati.
No Mercy… sebab pelaku juga tidak memberi hati pada korban. Titik.
Jangan meringankan hukuman – pada kasus kejahatan apapun, khususnya pembunuhan – hanya karena kasihan, muda, labil, mabuk, dan dengan segala alasan yang lebay lainnya.
Ando Ajo, Jakarta 13 Desember 2014.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H