Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Apa yang Kaukenang?

16 April 2016   11:04 Diperbarui: 16 April 2016   13:30 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: Memandang Keheningan - by; Klinik Fotografi Kompas."][/caption]Dulu bising menenangkan. Auman menindih rapatnya kelebatan. Atau bahkan kicauan yang sahut menyahut dari belukar hingga ke dahan. Tertiup angin menggerakkan tangan-tangan hijau bermahkota putik-putik bermekaran. Hembuskan kesegaran. Berbisik merdu ke liang pendengaran, meski bilah-bilah cahaya tiada mampu menjamah lantai yang dipenuhi awal rantai kehidupan. Pun jua jerit panjang melengking sedikit menakutkan.

Tetap saja…semua itu mengagumkan.

Terapi tak berbayar demi melepas kepenatan. Tenang didapat puas pun dimanjakan.

Dulu berisik tiada pernah dan tak akan mengusik. Laiknya rayu sang kekasih di kuping berbisik. Menggelitik. Tenang…tenang dalam cengkerama mengulik, di bawah pilar-pilar megah surya yang menyisik.

Langkah-langkah berkejaran bersitkan rasa penasaran. Atau kepak-kepak sayap berterbangan, layaknya kapas-kapas berguguran, dalam rona warna yang tak sanggup kutakarkan. Atau lompatan-lompatan indah dalam pangkuan. Nyanyian-nyanyian cumbu dari paruh-paruh tiada keterpaksaan.

Keindahan begitu sederhana. Tak butuh harta benda, demi semua tercapai rasa.

Tidak guna…

Kini bising membuat pening. Berisik seakan menguliti setiap lekuk hening. Tiada lagi kesegaran alih-alih bening. Hilang terhempas menguak gelepar dalam bunyi berdesing. Atau gergaji-gergaji berbandrol meruntuhkan segala geming.

Satu satu pilar-pilar berlumut rebah ke pelukan Bumi. Tak mampu melawan…mati. Ke mana kicau meninggalkan sunyi? Auman serak tak berdengar sepi. Tiada lagi sayap-sayap pelangi, atau pekik cumbu di pagi pun sore hari.

Riam ini tak lagi deras. Rimba ini tak lagi bernas. Mahkota hijau begitu getas, siap menjemput kematian meranggas.

Dan aku menunggu di sini dalam harap cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun