Pria tua hentikan langkah. Tanya dalam senyum menatap wajah, si Upik kecil duduk dalam gelisah. Risih… resah. Memeluk lutut erat kedua tangan, sembunyikan wajah dalam lipatan. Sesegukan.
“Nak, mengapa bersedih? Kenapa hati begitu terluka?”
Si Upik berdiri memeluk tubuh tua. Seragam putih-merah kotor, basah linangan air mata. Sesegukan lagi, menangis lagi. Tubuh terguncang dalam pelukan kasih.
Pria tua tersenyum, mengelus hitamnya rambut si kecil. Keranjang berisikan berbagai jenis mangga ia lepaskan. Taruh di atas tanah berumput tebal.
“Nak… tidak baik beriba hati!” Pria tua tersenyum lagi, mengusap bulir-bulir bening yang menetes di pipi si Upik. Sembab mata masih berlinang.
“Ayah… benarkah agama kita tidak baik? Teman bilang; kita kafir! Merekalah yang benar. Agama merekalah yang terbaik! Ayah, Upik gak mau sekolah lagi!”
Pria tua tersenyum lagi, jongkok memeluk tubuh kecil dalam dekapan. Usap lagi, belai lagi. Tangan tua, jemari kurus kekar, lembut membekap kedua pipi sang anak terkasih.
“Ayah, memangnya apakah agama itu?”
Pria tua kembali tersenyum, tiada paksaan, tiada tipuan, bukan pula kilah kata silat lidah pada si kecil. Hanya perlakuan tulus apa adanya.
“Nak, agama itu seperti kumpulan mangga ini!”
Pria tua menjejerkan lima buah mangga. Dalam barisan lingkaran sempurna. Ini Kuini, itu Pauh dan Mangga Golek, sedang itu Manalagi dan Harum-manis.
“Saat buah mangga masih muda, asam sama rasanya, meski asam pun berbeda. Tapi, ketika mereka ranum, bukankah rasanya sama manis?”
Si Upik kecil mengangguk tersenyum, mengusap air mata di pipi.
“Upik suka semuanya, Yah! Yang itu manis, yang ini lembut! Yang itu wangi, yang ini harum! Tapi semuanya manis… Upik suka, Yah! Upik suka!”
Pria tua tersenyum lega, berdiri memapah tubuh kecil si Upik. Memikul keranjang teruskan langkah pulang. Sebab hari sudah rembang petang. Saatnya pulang menuju gubuk usang. Tak perlu listrik penerang, sebab hati begitu lapang.
Upik kecil menari riang, senyum merekah terkembang, dalam imaji yang tenang.
-o0o-
Sedikit tambahan;
Sebenarnya ingin menuliskan dalam bentuk syair lama (Gurindam ataupun Tambo) tapi tidak ada pilihan, terpaksa dimasukkan ke dalam Puisi. Maaf bila tak berkenan.
salam
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 08 April 2015.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^