Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Lelah 4; Rapuh

13 Agustus 2014   14:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14078880041361547320

Aku Lelah 4

Rapuh

Tidak cukupkah hanya cinta?

Bukankah tubuh pelambang sayang!

Pengabdian diri siang dan malam…

Seluruh perhatian… tidak sedikit jua lalai

Ke mana perginya kasih?

Kenapa diri kian tersisih?

Tuhan… berikan hamba benih!

***

“Ke luar lagi, Mas?” tanya Jingga, senyummanis itu tak mampu menutupi harap diri. Pandangan berbinar hanya upaya memasung kesedihan.

“Hmm…” hanya gumam-an dari mulut Senja menanggapi tanya sang istri. Di tengah kesibukkannya berbenah diri, berganti pakaian.

Jingga tetap tersenyum, berharap suami tersentuh keikhlasan itu, dalam pantulan cermin. Sia-sia. Jingga perlahan menghela nafas. “Kan… baru pulang, Mas!”

“Sudahlah!” Senja berpaling, wajah tak acuh. “Malas debat ma kamu!” mematut diri lagi, membenahi dasi, “Ribut melulu!” parfume mahal menggoda indra penciuman dengan aroma maskulin.

“Tapi, makanan…” tetap Jingga bermanis wajah.

“Hei!” Senja menoleh tak senang, wajah yang dulu penuh cinta, mengelam. “Jangan mulai lagi! Ngerti kamu!?” telunjuk yang pernah memberi sentuhan hangat teracung kasar.

“Ma-maaf, Mas!” tetap bibir mengulas senyum, tetapkan mata pandang berbinar. Meski, tangis menjadi-jadi, walau hati remuk redam.

“Aah…” Senja mendengus kesal, menyambar kunci mobil di atas meja. Melangkah keluar dari dalam kamar. “Terserah mau kamu apakan!” menoleh lagi, mendengus lagi. Seolah sosok indah dinaungi kelusuhan itu hanyalah orang lain. “Buang kek! Kasi sama si Ana! Atau kamu makan sendiri!” dan, berlalu. Menyisakan suara-suara langkah cepat menuruni anak tangga. Sayup, sayup, dan lenyap.

Dan… lepas sudah, kehangatan menutupi pandangan. Memeluk erat jaket hitam sang suami. Mencium, menelisik aroma tubuh yang dulu pernah saling berbagi. Meski tubuhbergetar, isak tertahan di rongga dada.

***

Jingga memelas memandang makanan di atas meja makan. Terduduk lunglai mendekap kepala. Makanan penuh cinta yang ia siapkan dengan segala kasih, lagi dan lagi, mubazir. Tak seperti dulu. Sia-sia, tak berdaya menambal biduk patah kemudi.

“Buk…” Ana datang menghampiri, mengelus punggung majikan merasa kasihan.

Yaah, hanya Ana yang setia menemani. PRT muda yang selalu menghiburnya. Jingga mengusap wajah dan air mata, berusaha terlihat tegar meski Ana tidaklah buta. Menoleh tersenyum seolah semua baik-baik saja.

“Yuk, kita makan, Na!” ajakan itu terdengar serak, seperti gemericik tetesan air di tengah gurun sahara.

Ana mengangguk sedih. Meski bibir tersenyum, ia tahu pasti. Nyonya kembali menahan siksa tangis di dada. Sudah berapa lama? Dua tahun? Tidak-tidak, tiga tahun!

***

“Jingga!” Senja berkedip manis memeluk Jingga. “Aku pria paling beruntung, kamu tahu gak?” mengecup mesra dahi Jingga.

Jingga tak mampu menjawab, sebab wajah keburu memanas, sebab pipi begitu cepat bersemu merah terasa tebal. Sembunyikan wajah dalam pelukan pria pujaan, calon suami. Bermanja diri dengan kekasih hati.

“Bisa mendapatkan kamu…” senyum itu begitu menggoda, memaksa Jingga kian memerah, tersipu jengah. “Pokoknya, janji ini…” dengan hati bangga berbunga, Senja menggenggam jemari tangan Jingga. Cincin emas saksi cinta saling berdempetan, pertunangan. “Selamanya. Sehidup-semati!” ikrar diucapkan lagi, janji diingatkan lagi, meski pertunangan adalah bukti sejati. Selangkah lagi biduk siap mengarungi bahari.

Indahnya cinta membuai terlena. Sejuknya kasih selalu mengayun diri, risih. Hangatnya asmara mengubah dunia. Benarkah? Sampai kapan?

Setahun sudah biduk ini berlayar. Setahun sudah keindahan sama dinikmati. Setahun sudah keceriaan mengisi hari-hari. Dan… semuanya seolah mimpi-mimpi di malam hari, sebab kemudian hanya menyajikan elegi.

Apa daya si badan diri? Siapa bisa memastikan yang akan terjadi? Kenyataan datang menghentak diri. Setahun merajut tak jua hadir si buah hati. Bermalu diri mencari solusi. Dari alternatif hingga dokter pribadi.

“Maaf!” itulah yang keluar dari mulut sang dokter.

Jingga tak percaya diri mandul. Namun hasil uji tentulah betul. Apa yang harus aku lakukan? Apa gunanya diri ini? Seorang wanita yang mandul? Tuhan… jangan renggut kebahagiaan dariku, Tuhan! Jangan!

Tiga tahun berlalu sudah. Semenjak itu suami berubah. Senyum yang dulu selalu menggoda hasrat tak lagi terukir. Mata teduh penuh cinta tak lagi mampu mendinginkan. Wajah menawan yang dulu berhias kasih entah hilang ke mana. Tubuh yang dulu hangat memeluk memberi ketenangan, impian, dan… penyalur gairah kala birahi mengusik, kini… umpama balok es. Terlalu jauh untuk dijangkau, terlalu mengelam untuk dipandang, dingin menggigit bila dipaksakan.

Tak ada lagi cinta di rumah megah, tak ada lagi kasih yang selalu merisih, tak ada lagi canda tawa dalam kehangatan. Makian dan cacian yang sering terdengar, memaksa Ana menyisih barang sebentar. Bila pintu sudah terbanting, itulah saat Ana menyusul nyonya. Ana kasihan pada nyonya, Ana iba tak tahu harus berbuat apa.

***

“Iih… Pak boss kok murung, sih?” tanya mendesah dari bibir merona, gadis muda bergelayut manja, di pundak kekar Senja.

“Iya nih!” seorang lagi daun muda bergelayut di pundak Senja. Merayu manja pada sesuatu yang fana. “Siapa sih yang tega bikin Pak boss kek gini?” gerak tubuh begitu memancing hasrat. “Jahat deh!” membelai hasrat wajah Senja.

“Udah deh!” Senja mereguk habis minuman pengekang rasa. “Jangan ngingatin saya pada perempuan tak berguna itu!” menghisap dalam rokok di tangan. “Dasar mandul! Selalu aja bikin kesal! Aaah…”

“Tenang aja Pak boss!” daun muda mengerling manja. “Ada kita, kok!” mengulum bibir merah begitu bergairah.

“Kita bisa bikin Pak boss melupakan dia, kok!” seorang lagi mengusap dada yang bidang. “Melayang…” tertawa halus ditingkah usapan yang liar.

Senja tertawa puas mematikan rokok. Memeluk daun muda penuh hasrat. Gejolak yang dulu ia salurkan pada sang istri. Kini gairah punya labuhan lain.

***

Jingga berbaring di kasur hening. Membelai lembut guling di hadapan. Berharap malam-malam yang dulu indah kembali menghangat. Mengharap kasih kembali seperti dulu. Kehangatan menjelajahi ruang mata, meleleh jatuh membasahi bantal.

Tubuh indah itu tak lagi bergairah. Tubuh molek itu tak lagi menarik meski sudah bersolek. Ke mana perginya cinta? Air mata kian mengalir deras, saat jemari memainkan cincin nikah simbol janji. Di mana kau kasih? Kenapa dingin mengungkung jiwa? Sumpah janji tiada berarti, mainan hati kala asmara sesaat menggeluti.

Tuhan… hamba pasrah jika demikian badan diri!

Tak mampu memberikan ke-keturunan… ha-hamba, rela!

Namun jangan jauhkan cinta, Tuhan! Jangan!

Meski… badan lelah, ha-hamba masih kuat bertahan!

Tapi jangan jauhkan kebahagiaan, Tuhan! Jangan, hamba mohon!

***

Jingga termenung tiada ekspresi. Pagi ini, seperti yang sudah-sudah, ia membersihkan pakaian sang suami. Namun sesuatu memaksanya kembali mengalirkan kehangatan dari ruang mata. Di tumpukan kain kotor, di dalam keranjang, di atas mesin cuci. Pakaian dalam sang suami menyatakan lain.

Secarik pakaian dalam putih itu… masih menyisakan noda. Cairan setengah mengering. Yaa, cairan yang belakangan ini ia rindukan, ia harapkan. Cairan yang mampu menyejukkan kehangatan, meredakan gelombang gairah.

Yaa Allah… Jingga tahu, selama ini Senja mencari labuhan lain. Jingga tahu ‘kekurangannya’ menjauhkan Senja. Jingga tahu. Ta-tapi, mengapa Tuhan? Mengapa? Kenapa harus memberikan pada yang lain? Tidakkah dahagaku butuh jua?

Jingga hanya mampu duduk terhenyak, menahan gemuruh menyakitkan dada. Hati disayat-sayat sembilu kenyataan. Sesegukan di lantai, membungkuk badan.

“Buk…” Ana menahan haru, memeluk sang nyonya dari belakang. Ia sedikit tahu hal itu, yaa ia tahu. Tapi, tidak bisa berbuat apa-apa.

***

“Mas?” Jingga menyapa dengan senyum manis seperti yang sudah-sudah. “Saya mau bicara, Mas! Engg… tentang sesuatu…”

“Apalagi sih?!” tanya Senja, sibuk mempersiapkan segala hal, sebab akan berangkat ke kantor. “Duit? Ntar aku transfer!”

Duti? Yaa Allah… apa duit bisa membawa bahagia? Jingga coba mendekati, merapikan kemeja putih yang sedikit berkerut di punggung sang suami. “Bukan, Mas!” tersenyum lagi menahan sesak. “So-soal…”

“Udahlah! Ntar aja!” Senja seolah menepis sentuhan sang istri. “Udah telat ni…”

Ya Allah… begitu menjijikkan-kah diri ini? Segitu najisnya, kah? “Mas, sa-saya…”

“Kamu tuh ngerti gak sih, haa?!” Senja mendelik meraih koper di atas kasur. “Gak ngerti kamu dengan kata telat! Haa?” berlalu meninggalkan kamar.

Jingga menyusul, hanya ingin menyampaikan. Bi-biarlah diri ini dimadu, i-itu lebih baik daripada harus… de-dengan wanita gak jelas! Me-meski… hati ini pasti sakit, asal… asal dahaga ini tersirami. Asalkan biduk ini kembali dikayuh.

“Mas!” panggilnya. Yaa, kali ini ia harus mengungkapkannya, tidak ingin lagi ‘digantung tiada bertali’. Senja terus melangkah menuruni jejeran anak tangga setengah melingkar. “Mas Senja, sekali saja Mas, sekali saja! Tolong dengarkan istrimu ini!” Jingga menjerit setengah histeris.

Senja hentikan langkah, di tengah-tengah jejeran anak tangga. Memandang geram pada Jingga. “Istri katamu! Haa!” Senja meludah begitu najis. “Haram jadah! Kalau saja aku tahu…” lagi-lagi makian kasar, lagi-lagi telunjuk teracung tak pantas. “Kau itu tak berguna, tidak akan mau kunikahi kamu, tau!”

“Mas!” Jingga duduk terhenyak. Ke mana kata pujimu dulu? Mengapa pahit jadam kau ungkapkan? “Bukan itu Mas! Bukan!” tangis jingga tak bisa ia sembunyikan. Relung ini begitu remuk tak berbentuk. Sebingkai kaca yang jatuh di atas batu cadas, pecah berderai. “Aku, aku tahu Mas ada main dengan perempuan lain!”

Senja tersenyum miring, mendengus lagi dan lagi. “Bagus!” sorot mata kian mengelam. “Bagus kamu tau. Gak perlu kurahasiakan lagi!”

“Mas, kumohon!” Jingga berusaha bangkit, tertatih menapaki anak tangga. “Sa-saya, lebih rela bila Mas menikah lagi, tak mengapa! Asalkan… asalkan ki-kita bisa seperti dulu lagi, Mas!” meski ‘puas’ menerima cacian selama ini, namun relung hati tiada bisa dibohongi. Cinta Jingga hanya pada Senja. Itu, sudah terpatri. “Saya rela, Mas!” coba tersenyum manis, menyeka kedua pipi.

“He’eh…” Senja mendengus sindiran. “Madu! Mau dimadu? Wanita macam apa kamu itu?” meludah lagi, najis lagi. “Biar kuberi tahu, kamu dengar baik-baik!” sinis memandang pada Jingga yang kembali terdiam. Tangan bertolak pinggang, seakan tengah memandang pada musuh bebuyutan. “Aku lebih memilih cerai! Kamu dengar?! C E R A I?” Senja memutar langkah, berlalu begitu saja meninggalkan Jingga.

Jingga terhenyak lagi, dan lagi. Lelehan air mata mengucur lagi, dan lagi. Terkejut mendengar pintu dibanting kencang. Tubuh gamang, ke mana perginya tenaga? Dan… Malak al-Maut datang menjelma. Jingga melenguh dada sakit meringkuk. Datang tiba-tiba jantung terkejut. Diam, tak lagi berdetak mengaliri kehidupan. Tersungkur di selasar, berguling jatuh menuruni anak tangga, hingga ke lantai bawah.

“Buk…” Ana berlari kencang menyongsong tubuh Jingga. Memeluk sang nyonya dalam pangkuan. “Buk! Bangun, Buk! Bangun!” Ana tak kuasa menahan tangisnya, tak lagi bisa. Deru suara mobil meninggalkan pekarangan terdengar jelas.

Ana bergegas lari ke depan, meninggalkan sang nyonya sementara. Terlambat, terlambat sudah. Sang tuan telah memacu mobil meninggalkan rumah. Teriakan Ana memanggil-manggil sia-sia.

Ana berbalik menghampiri nyonya. Kembali memeluk dalam pangkuan. Namun tubuh itu tiada berasa, tak lagi berdenyut. Sebab napas telah terhenti.

“Buk…”

***

Tuhan…

Kenapa cinta menyakitkan?

Mengapa keikhlasan tiada dipandang?

Mengapa kesetiaan tak mampu mengindahkan?

Tuhan, jangan hilangkan cinta-Mu dariku, Tuhan…

__________________________________________

Ingat-ingatlah… masa yang indah. Kala sua bertemu mata. Mungkin mampu meredam rasa. Sebab dulu semunya indah.

_________________________________________

Jakarta, 13 Agustus 2014

Ando Ajo

Baca juga cerita lainnya;Aku Lelah1 ,Aku Lelah 2: Keramat ,Aku Lelah 3: Salah

Sumber ilustrasi di sini

Terima Kasih Admin Kompasiana ^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun