Agustus, Masihkah Bulan Kemerdekaan?
Kita semua tahu – kita yang mengaku; Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia – jika bulan agustus adalah bulan yang sangat spesial bagi bangsa Indonesia – tanpa menafikan peristiwa penting di bulan yang lain. Sebab, di bulan inilah Presiden Pertama (Soekarno) dan Wakil Presiden Pertama (Mohammad Hatta) kita – selanjutnya dikenal sebagai Bapak Proklamator – membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang menandakan Kemerdekaan Indonesia – 17 Agustus 1945 – setelah perjuangan yang melelahkan, beratus tahun. Mengorbankan jutaan kubik air mata, jutaan kubik darah anak pertiwi, harta-benda – jika ada yang sanggup menghitung takarannya, tolong beri tahu saya! – dan, jutaan nyawa pejuang demi ‘terbebasnya ibu pertiwi’.
Saya mungkin sanggup membayangkan kegembiraan Rakyat Indonesia, kala itu. Tangis haru, sorak-sorai membahana, saling berpelukan satu sama lain, berjabat tangan meski berbeda ras, suku, dan agama. Sebab Perjuangan Mereka yang telah ‘mendahului’ tidaklah sia-sia. "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."(potongan Pembukaan UUD ’45) Bahkan dalam pembukaan UUD ’45 juga termaktub butir-butir Pancasila yang HARUS menjadi landasan bagi setiap kepala dan hati yang hidup di tanah pertiwi ini.
Namun… sungguh, jika disuruh membayangkan perjuangan mereka, saya tidak sanggup, tidak sedikit jua. Meski banyak gambaran untuk itu, lewat buku-buku sejarah, cerita orang-orang tua di kampung, atau juga lewat visualisasi layar televisi. Jujur, saya tidak sanggup. Bukan berarti tidak bisa! Saya tidak sanggup sebab dada ini akan sesak karenanya. Sesak oleh Nasionalisme dan Patriotisme para pejuang itu. Sesak karena mereka tidak memikirkan diri sendiri. Seolah membisikkan; Biarlah raga hancur! Biarkan kami berkalang tanah! Asalkan anak-cucu tak lagi hidup terjajah! Sedikit saja, cobalah kenang perjuangan kami, nanti!
Mari kita buka lagi lembaran-lembaran sejarah, memutar waktu barang sekejap, melihat perjuangan para Pahlawan, dari titik awal, perjuangan yang belum terorganisir, wilayah kecil, kerajaan, hingga membentuk keinginan yang sama, menjalin persaudaraan, berkembang besar menjadi Satu Nusa-Satu Bangsa-Satu Bahasa, tidak agustus saja, juga di bulan-bulan lainnya, urutkan lagi, mundurkan lagi, flashback history. Hingga… bermuara di bulan Agustus 1945.
Dan saya sangat yakin, jika kita membaca lagi Pembukaan UUD ’45, maka kita akan mendapati jika ‘itu’ dimaksudkan untuk selama-lamanya. Sebab tertera (dan saya yakin disepakati) ; “…telah sampailah…” yaa, saya yakin seyakin-yakinnya jika kalimat itu dimaksudkan ‘untuk selama-lamanya’.
Namun, jika melihat lagi pada ‘kejadian’ pemilu kemarin yang bertepatan dengan bulan suci ramadhan – Pembacaan Teks Proklamasi 1945 juga di suasana ramadhan juga – hingga ke agustus ini – 9 Agustus 2014 – tentang semua ‘proses’-nya. Saya seperti merasa perjuangan para Pahlawan itu, sia-sia.
Maafkan saya mengatakan seperti itu (sia-sia) sebab, dalam tempurung kepala saya muncul tanda tanya besar.
Apakah perjuangan mereka terdahulu tidak lagi diingat?
Benarkah perjuangan mereka ‘telah sampailah’ berakhir?
Benarkah kita merdeka?
Yakinkah kita bersatu?
Berdaulat?
Adil?
Makmur?
Ke mana hilangnya harga diri?
Ke mana perginya legowo diri?
***
Dari berbagai sumber
_____________________________________
Salam dari saya yang masih dan akan selalu mencintai negeri ini.
Merdeka!
__________
Jakarta, 09 Agustus 2014
Ando Ajo
Sumber ilustrasi di sini
Terima kasih Admin Kompasiana ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H