“Kaumasih betah memandangi koran tua itu?!” Durna mengulas senyum, lantas menyingkap tirai tipis—yang lebih mirip jaring untuk penangkap ikan—satu-satunya yang ada di dalam ruangan lima kali delapan meter persegi tersebut. Cahaya pagi sang surya mungkin butuh kekuatan maksimal untuk dapat menembus sempurna jendela berbingkai kaca tebal itu.
“Mengingat wajah mereka?”
Hening tetap bertakhta di diri pria tiga puluh lima tahunan yang duduk membelakangi pintu. Surat kabar yang menguning ia pentang selaiknya seorang inspektur upacara yang akan meneriakkan butir-butir Pancasila. Pun sepasang mata, semenjak lima belas menit yang lalu terpentang nyaris tanpa berkedip.
Tidak ada kehidupan di sana.
Durna berjongkok dengan kaki kiri bertumpu pada lutut. Perlahan, tangan kiri menekan bagian teratas surat kabar yang dipentang—masih dengan senyum mengembang.
“Kau—guruku?” mulut itu membuka kuncinya, tanpa riak di wajah, hanya sepasang bola mata sekejap bergeser sebelum kembali ke laman surat kabar—tepatnya: ilustrasi beberapa sosok di dalam sebuah ruang mewah—yang kini tergeletak di atas ubin putih begitu saja.
“Tentu,” sahut Durna pasti. “Kaumembutuhkannya?”
“Kenapa… kauselalu membawa benda itu?”
Durna terkekeh—teramat halus, mengelus benda hitam-perak yang melingkar di lehernya. Benda yang teramat sering digunakan untuk mengindikasikan profesi seseorang—seperti dirinya. Ia memainkan bagian bulat di ujung benda tersebut.
“Irama. Kautahu—“ Durna mengedipkan sebelah matanya menanggapi reaksi kecil lawan bicaranya itu. “—Musik. Kausuka musik? Ahh, aku suka sekali. Degupan jantung manusia itu adalah musik terindah—yaa, nanti kauakan menger—“
“Aku—sang penguasa…” sela pria itu memindai langit-langit ruangan. Sesekali desir halus dari udara yang masuk lewat lubang-lubang AC menyapa keheningan.