Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Jokowi] Kultur Leluhur

18 Desember 2015   17:45 Diperbarui: 18 Desember 2015   17:50 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiada berlebih tiada berkurang, seperti ujar-ujar tua di masa yang silam. Tepian mana yang tak akan berpindah, bila hujan datang membawa banjir bandang? Tidak pada diri, tapi juga pada mereka. Sedetik perubahan bermuara pada tiap akal, muhasabah pasti, agar kelak tiada kecewa dan sakit di hati.

Taksir perubahan selalu tersirat kebaikan dan keburukan. Ada masa di mana cencangan kayu menjadi ukiran berharga, pun jua kala retak membawa pecah bencana.

Hakekatnya kata raja adalah kata melimpah. Tapi jangan diumbar agar telinga tidak jengah. Baik simpan dalam telaah, dan pada masanya nanti mereka akan berdecak terperangah.

Pun hakekat kata hulubalang adalah kata menggelegar, namun sembunyikanlah taring agar terlihat pada yang berajar, bila diri tiada kekurangan laku jua ajar. Pada saatnya nanti, diri kan mampu menempa kata berpendar.

Namun ragam dunia, selalu dibutuhkan si kata alim. Dari semua sendi laku gerak dan ucapan. Kata pelambang hakiki, agar diri tiada bersesat hasutan. Sempurna rasa karena hasil kerja, sempurna hidup terletak pegangan hati pada agama.

Tanamkan pagar dalam kerapatan, bila pikiran sama berlainan. Agar tiada lepas semua caci dan makian, hingga ulayat tiada perlu menangisi kelakuan. Dan andai semua keburukan tercurah, tertumpah pada diri, jangan sekali-kali berjingkat melarikan diri. Di sanalah uji menagih janji. Keteguhan. Kearifan.

Ajaran leluhur sangatlah mulia, petuah berdendang melintasi zaman. Kendati jalan tidaklah rata, ingat-ingatkanlah kaki kala melangkah, tapakkan langkah jangan sampai tersandung. Andai pundak tersangkut hingga berdarah, kala ranting terinjak menusuk kaki… maka patahkanlah keris hanya di dalam sarung.

Jangan biarkan retak menjalar, menjadi remuk permukaan. Bila sengketa dan masalah datang menyapa. Surutkan kaki yang terlanjur melangkah, himbau kebersamaan pada pikiran-pikiran yang jauh mengecam. Demi menjaga jangan korbankan pedang hingga menjadi patah. Tersuar kabar diri juga yang kan resah.

 

Dan pabila kusut merajut dihadapkan, urailah, untailah… jangan sampai burung-burung berkicau.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun