Jika tahu keindahan adalah petaka, mungkin pinta pada Yang Kuasa jauh berbeda. Biarlah diri tetapkan hijau, tanpa mahkota, tanpa jingga mekar yang kalian kejar. Atau biarlah akar diri terpendam jauh di dalam tanah, tanpa pernah pucuk-pucuk muda merayap mengejar mentari, tiada perlu bersusah payah menemani hari.
Tapi… janji pada Ilahi tetaplah pasti, tiada bisa kami ingkari. Selalu ada masa di mana kami ada, menyemarakkan tiap sudut pandanganmu yang jenuh, penuh kebosanan. Memanjakan pandanganmu, membuai anganmu laksana kepingan syurgawi.
Dan lantas… terkulai, mati.
Seperti inilah nasib kami, meski ibu bumi selalu membisiki, meski langit memberkahi dalam tiap tetes hujan diberi. Setahun hanya sekali, mekar… mekarlah diri. Menyapa langit tinggi, hangatnya bias mentari. Meneriakkan padamu bahwa ada makhluk lain pemberian Ilahi, yang menyajikan eloknya alam ini.
Kami tetap tersenyum. Tetap memegang teguh janji, pada Ilahi, pada ibu bumi, pada hangat bara mentari… bahkan nanti, berharap kelak dalam syurga taman-taman asri, kekal abadi.
Â
Bagaimana…
Bila mahkota ini tidak pernah mengembang, tiada lagi keinginan, meski sekadar menyapa sang mentari…
Masih sudikah mengagumi? Atau sekadar melirik?
Lalu… mengapa tidak membiarkan kami damai bersama, kawan?
Â