Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Negeri Seribu Dosa

4 Mei 2015   19:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:23 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430741227781308827

Biduk retak pendayung patah, layar terkembang robek usang terbelah. Tak kan mungkin mengarung samudera menggelora. Tak akan mampu menahan ombak bergulung. Hanya… terdiam di tempat. Menunggu waktunya untuk karam. Tenggelam.

Kaki timpang tak sempurna langkah. Terbentur sedikit mulailah goyah. Tongkat sebatang rapuh nyaris patah. Langkah-langkah menapak bersusah-payah. Tatah-tertatih penuh luka darah juga nanah.

Ke mana Pertiwi akan dibawa pergi? Bila Nusantara sanggup mengangkat muka, bisa berbangga? Menuju negeri gema ripah loh jinawi? Anak-anak Nusa mengecap rasa, pada ayah-bunda maju jaya?

Kapan?

Kapan?

Kapan…?

Leluhur tua sering berkata, berakyat dahulu baru beraja. Lihat-lihatlah apa yang terjadi di negeri tercinta?

Kebusukan demi kebusukan muncul ke permukaan. Bangkai-bangkai rapat disembunyikan, namun tak lepas dari mata kebenaran. Terbuka terkuak terciumnya busuk badan. Lagi dan lagi anak Pertiwi menjadi korban. Ketamakan.

Anak-anak Nusa hanya mampu mengurut dada, melihat kenyataan terkuak di depan mata. Petinggi-petinggi negeri bermain api, bersilat lidah tak hendak mengalah. Telunjuk-telunjuk mengumbar kekuasaan, pilih memilih korban berjatuhan.

Tidak! Ini semua belum cukup!

Masih banyak kepala-kepala yang bisa dijadikan kambing hitam. Penutup busuknya perbuatan. Masih banyak diri-diri untuk disalahkan.

Silih berganti pemimpin yang datang, selalu pulang dengan perut kenyang. Satu per satu penguasa bertahta, hanya memperkaya harta keluarga. Kala berjanji pada Pertiwi, seakan dewa nan mahasakti. Namun kala jabatan dikembalikan, hanya menumpuk hutang yang ditinggalkan.

Pawang negeri tak pernah peduli, cambuk cemeti hanya pelindung pribadi, bukan kami anak-anak negeri. Tapi bagi mereka bertaring gigi, bercakar besi.

Diri-diri angkuh pamerkan taring, kuku-kuku tajam siap mencakar. Seolah lupa seakan mengabaikan, bila materi rakyat yang menyediakan.

Kami yang menggaji… kami yang mati!

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGA DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 04 Mei 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun