Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ombak

4 April 2015   22:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428160632213062926

Ombak

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai…

Novan terpaku, duduk setengah melamun di bangku tunggu keberangakatan bandara. Pemuda tiga puluh tahun ini adalah seorang dokter. Satu koper besar tersandar di sisi kanannya.

Seminggu yang lalu…

“Tolonglah Pak, istri saya tengah hamil, juga, Pak!” Novan memohon pada Kepala Rumah Sakit itu. Sebuah Rumah Sakit swasta yang amatlah mewah.

Novan tahu, didepak dari Rumah Sakit itu pastilah karena dokter-dokter muda nan cantik yang sedari dua minggu lalu menghiasi Rumah Sakit mewah ini dengan senyum mereka. Yaa, meski ia sendiri baru setahun saja mengabdi di bagunan yang sama. Lagi-lagi karena status sosial, dan… uang.

“Kenapa kamu gak coba ke Marampit saja!” Ujar pria setengah baya itu pada Novan. “Di sana masih kekurangan tenaga medis!”

Novan terdiam. Marampit!? Desisnya tertahan. Daerah yang jauh dari jangkauan, dan tidak mungkin rasanya harus memboyong istri yang hamil besar langsung ke sana. Sontak membayang keterasingan diri, di negeri kecil yang tiada seorang pun ia kenal.

Kenapa gak aku!? Kenapa bukan mereka-mereka yang genit itu…!?

“Kalau kamu gak mau… ya sudah!” Lanjut Kepala RS itu menanggapi keheningan Novan. “Saya tidak punya pilihan…” pria ini bertindak seolah akan merobek surat dokumen dalam amplop coklat itu. “Cuma ini yang bisa saya berikan ke kamu!”

Novan mendesah panjang, membekap wajah dengan kedua telapak tangan. Suasana bandara yang ramai, deru mesin-mesin pesawat, seolah tak terdengar. Hening dalam kesendirian. Rutinitas yang menanti, setumpuk rupiah demi calon bayi, tak akan lagi sama. Keramaian kota besar, tetek-bengek hiburan dan segala yang terbiasa ia gunakan, tak akan rasanya ia jumpai di sana.

Belalai gajah panjang

Bulu kucingku belang…

Tuhan Maha Penyayang

‘Anak-anak’ disayang…

Mungkin… untuk berlibur saja, di sini amatlah menenangkan. Tapi… akhh! Novan menggerutu seorang diri. Berdiri terpaku menatap jernihnya perairan di pantai. Hembusan angin menggoyang daun-daun nyiur yang memberi keteduhan.

Tubuh terasa lelah, remuk dalam perjalanan panjang, berganti-ganti kendaraan. Bagaimana ini? Tempat tinggal yang disediakan baginya hanya sebuah rumah semi permanen. Itu, di belakangnya. Penduduk setempat yang mengantarnya dengan sampan mereka. Di bagian terujung Kepulauan Marampit, Kampung Dampulis. Dan ia diberi tahu, jika klinik tempat di mana nanti ia akan mengabdikan diri, terletak di pulau berbeda.

Novan memandang tinggi langit cerah membiru. Tas di tangan kiri, koper besar di tangan kanan, ia lepaskan begitu saja. Coba menabahkan diri. Berbisik halus pada Sang Pemberi Rezki. Tuhan… tetapkan sumpah yang terucap. Patrikan dalam dada ini!

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai…

Saat tersentak dan bangun, Novan keluar dari dalam rumah sederhananya itu. Gelap. Hanya bulan penerang lautan di ujung mata. Jemari kaki membenam ke dalam pasir putih. Di ujung sana, kelap-kelip lampu perahu nelayan seumpama bintang di langit.

Apa mereka tidak lelah? Takut? Di tepian ini saja begitu dingin merajam… ahh, ini bukanlah sesuatu yang buruk! Ia memandang lagi langit tinggi.

Pagi ini, Novan merasa tubuh begitu lemah, sebab nyaris semalaman tak bisa tidur. Deru angin laut malam, hempasan ombak ke tepian, semua ini… sesuatu yang baru baginya. Tidak terbiasa. Tidur dalam kurungan kelambu, penangkis nyamuk dan agas.

Seorang diri menunggu di tepian. Hanya ada dermaga kayu, buah tangan penduduk setempat. Setengah malas melangkah, menjengkal susunan acak papan kayu, hingga ke ujung.

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa…

Sayup, Novan mendengar syair melengking, di arah kiri. Satu perahu datang mendekat. Dua orang anak dengan seragam putih-merahnya dan masing-masing menyandang tas sekolah yang sudah usang, mendayung sampan perlahan. Di kepala, topi merah-putih melekat erat.

“Dek! Adek!” Panggil Novan.

Dua bocah membawa sampan ke sisi dermaga, lincah meraih tali-tali usang yang menjuntai, menghentikan laju sampan mereka. Di depan seorang bocah perempuan. Di belakang bocah laki-laki.

“Adek-adek ini, mau ke pulau seberang, kah?!” Tanya Novan.

“Iya, Pak Dokter!” Jawab si bocah perempuan di depan. Mereka berdua tidak bodoh, pakaian yang sekarang dikenakan Novan mengindikasikan pada kedua bocah Sekolah Dasar ini. Dia seorang dokter.

“Boleh saya ikut?!” Novan melihat lagi arloji dipergelangan tangan kirinya.

“Boleh, Pak Dokter.” Anak yang duduk di belakang menyeru senang. “Mari, Bapak!”

Novan duduk di tengah, seumur-umur tidak pernah mendayung. Terpekur malu pada kedua bocah SD itu yang sama mendayung sampan dengan segala keceriaan mereka. Meski, sepasang kaki tiada beralas sepatu, tidak pula sendal.

“Kenapa Adek-adek ini mau mendayung perahu jauh-jauh begini?!” Novan berusaha untuk akrab dengan kedua bocah itu.

“Biar bisa membaca dan menulis, Pak Dokter!”

Novan menoleh ke belakang, ia tersenyum mendengar ucapan si bocah laki-laki. Itu… terdengar lugu sekali bagi dirinya yang seorang dokter.

“Kalau Adek?!” Novan bertanya pada yang di depan.

“Biar bisa jadi bidan!” Bocah perempuan menjawab sembari dayung sampan ia angkat tinggi ke atas. Dan lantas tertawa senang, dibarengi tawa temannya yang di belakang Novan.

Novan terperangah. Tubuh merinding. Mereka… apa mereka mengerti dengan apa yang mereka ucapkan? Tuhan… naifnya diri ini! Ampunkan hambaMu ini Tuhan! Teguhkan tekad yang sudah terpatri…

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudera…

Bibir-bibir mungil kembali bernyanyi. Melantunkan indah lagu dalam syair. Mengawal pagi dalam usaha menimba ilmu. Seiring tangan-tangan kecil begitu perkasa menghela dayung. Kiri-kanan, kiri-kanan.

Novan tersenyum, memandang langit tinggi yang begitu indah. Anak-anak ini… semoga mimpi mereka Engkau kabulkan, yaa Zat Yang Maha Pengasih!

Lamat-lamat, sang dokter mengikuti irama syair dari mulut kedua bocah SD itu. Lagu yang dulu pernah ia kenal di usia yang sama. Syair yang dulu ia nyanyikan dengan semangat di dada. Dendang yang pernah ia lupakan selama ini. Kini, mengalun indah dalam semangat baru. Di antara kedua anak yang tiada sedikit jua membayang rasa jerih di wajah mereka. Tidak. Mereka begitu gembira! Novan tersenyum lagi.

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa…

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai…

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai…

Sampan menjauh kian menjauh. Meninggalkan dermaga kayu, hanya untuk sementara waktu.

Istriku… aku yakin engkau akan suka tinggal di sini. Bersamaku. Bersama anak-anak ini. Bersama waktu yang pernah hilang…

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudera…

***

Kupersembahkan ini

Padamu anak anak pertiwi

Yang begitu gigih mendayung perahu di gelapnya pagi

Dan kembali dengan tubuh basah di tengah hari

Di pulau pulau terluar yang luput oleh kami

Selama ini

Sebab badan kami buta tuli

Selalu begah buncit dengan urusan diri

*

Catatan:

Dampulis; satu dari tiga kampung yang terdapat di Kepulauan Marampit.

Marampit; kepulauan yang berada dalam administrasi Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.

Agas; jenis nyamuk pantai. Ukuran sangat kecil namun dengan gigitan yang sangat menyakitkan ketimbang nyamuk biasa. Paling banyak di daerah pantai hutan bakau.

Sumber syair; Lagu anak Nusantara; Nenek Moyangku – Karya Ibu Soed.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 04 April 2015.

Sumber ilsutrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun