Gemericik
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati…
“Mila! Mila…!”
Suara panggilan pria setengah baya itu membuyarkan keasyikan Mila bersenandung. Gadis sepuluh tahunan ini hentikan kegiatannya, menggambar sebuah pemandangan desa lengkap dengan sawah dan hamparan pasi menghijau, mirip angka tiga terbalik.
“Mila…! Dengar gak sih, Nak!?”
“Iya…” sahut Mila meninggalkan buku gambarnya di atas meja bambu usang. Berlari kecil keluar rumah, menghampiri sang ayah.
Pria tua yang baru saja pulang dari ladang duduk melepas lelah di depan rumah, di atas sebuah bangku panjang yang juga dari bambu. Dengan capingnya ia mengipasi tubuh yang gerah.
Mila datang menghampiri.
“Iya, Yah?” Mila tersenyum sembari meraih tangan tua sang ayah dan mengecupnya.
Sang ayah tersenyum, mengusap kepala sang buah hati.
“Ini…” pria tua serahkan dua kantung plastik hitam pada Mila.
Mila menerimanya. Kantung plastik itu kotor, berlumuran tanah. Tanpa melongok isi di dalam kedua kantung tersebut, Mila sudah dapat menerka apa isinya. Biji-biji buah keluih, sedangkan kantung yang agak besar berisi keluih muda yang telah dipotong-potong kecil, untuk sayur.
“Pisahin gih!” Perintah pria tua dengan lembut. “Yang biji, buat kita makan malam ini. Maaf, Ayah gak dapat umbi tadi…”
Mila mengangguk, tersenyum, meletakkan kembali dua kantung ke atas bangku panjang, dan berlalu ke dalam rumah berdindingkan anyaman bambu itu.
Tak berapa lama Mila kembali. Di tangan kanan membawa secangkir air putih, tangan kiri menenteng baskom kecil dari plastik berwarna biru pudar dan sudah pecah di dua sisi.
Mila menyerahkan cangkir pada sang ayah. Pria tua tersenyum menerima, dan lantas mereguk air tersebut, membasahi tenggorokannya yang kering serak.
Dengan cekatan, tangan kecil itu menuang isi plastik hitam besar. Potongan-potongan keluih muda ia sisihkan sepertiganya. Sebagian lainnya, kembali ia masukkan ke dalam plastik besar. mila meraih plastik yang satu lagi, menuangkan isinya ke dalam baskom. Biji-biji dan potongan keluih itu ia bawa ke sisi kanan rumah.
Di sana, terdapat satu gentong tanah liat, besar dan sudah tua. Masih tersisa, air hujan yang tertampung sehari yang lalu. Mila memenuhi baskom dengan air. Membiarkan biji-biji dan potongan keluih terendam.
“Kita anter yang ini ya! Ngurangin utang ma yang punya rumah.” Ajak pria tua pada anaknya. Mila mengangguk dan mendekat. “Sebentar, Ayah mau ke dalam dulu.”
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang…
***
Hutan sawah gunung lautan
Simpanan kekayaan…
Mila melompat-lompat kecil, dalam gandengan tangan sang ayah. Menyusuri pematang sawah yang sebentar lagi akan mengunig. Mengubah rona karpet hijau menjadi permadani emas. Pria tua tersenyum bersyukur melihat keriangan sang anak.
Terkadang Mila berlari kecil, melepaskan pegangannya dari tangan sang ayah. Sore ini langit begitu indah. Cahaya sang surya menarik Mila untuk menari di antara siuran angin nan meyapa lembut. Menggoyangkan rumpun padi seakan mengikuti irama tubuh gadis kecil. Burung-burung pipit pun tak mau diam, terbang bergerombol saat tangan halus itu menyibak lembut rumpun menghijau.
*
“Terima kasih lhoo, Kang Irul.”
Pria tua mengangguk tersenyum. Wanita sebaya dengannya itu menerima dengan senang hati pemberiannya.
“Udah lama gak nyayur keluih nih, kebenaran Akang bawain.”
Tidak ada keberpura-puraan di sana, pria tuabisa merasakan itu.
Wanita setengah baya mengusap lembut rambut dan wajah Mila. “Sebentar!” Pintanya, dan berlalu ke dalam rumah beton.
Tak lama ia kembali di tangan menenteng satu plasti bening. Isinya, tiga buah lepat singkong dalam balutan daun pisang.
“Nih, buat Mila!” Wanita itu menyerahkan bungkusan.
Mila menoleh pada sang ayah. Pria tua tersenyum kedipkan mata.
“Makasih, Buk.” Mila tersenyum senang menerima.
“Makasih, Mbak.” Pria tua merasa kian berutang budi. Entah kapan bisa dibalas. “Mari Mbak!” Ia berpamit diri.
“Buk, Mila pamit.” Ujar bibir mungil itu.
“Mari, mari, mari.” Wanita setengah baya tersenyum melepas ayah dan anak itu berlalu.
**
Pria tua merangkul bahu sang anak, melangkah menyusuri hari yang rembang petang. Di antara senandung makhluk-makhluk rimba yang riuh rendah.
Hutan sawah gunung lautan
Simpanan kekayaan…
Mila melangkah riang, menari-nari mengajak capung-capung indah berterbangan. Bungkusan di tangan ia serahkan pada sang ayah. Kembali menari dalam senandung berulang-ulang.
Di depan, gemericik air yang mengalir terdengar mengalun lembut. Gesekan biola pujangga alam. Mila melangkah riang menuju titian. Bukan jembatan berpagar besi kokoh, hanya jejeran tiga batang kelapa yang sudah usang.
“Mila, hati-hati!” Pria tua menasihati, “licin!”
Mila memutar tubuh mengangguk pada sang ayah, berbalik lagi, menari lagi.
Selangkah, dua langkah, tiga langkah, hingga sampai di tengah. sepasang kupu-kupu cantik menari riang menyapa Mila. Mila terpesona hendak menjangkau kupu-kupu di depan.
“Mila…!”
Pria tua berlari mengejar. Mila si gadis kecil terpeleset, jatuh ke dalam arus sungai yang membawa tubuhnya menjauh.
“Mila…!”
Pria tua berlari kencang. Menyusuri tepian sungai. Melompat ke dalam derasnya arus. Sekuat tenaga berenang, menggapai tubuh Mila.
“Sayang!” Panik menyesakkan dada. “Mila! Sayang, Nak!” Tak jelas yang mana air mata, yang mana air sungai?
Pria tua berenang, membawa tubuh Mila ke tepian.
“Sayang! Jangan tinggalkan Ayah, Nak! Jangan!”
Pria tua menggenggam erat tangan sang anak, memeluk tubuh kecil dalam dekapan. Mila terbatuk, memuntahkan sejumlah air.
Ki—ni ibu sedang… susah
Merintih dan berdoa…
“Mila…!”
***
Sumber syair; lagu Ibu Pertiwi, gubahan Ibu Sud.
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 19 Maret 2015
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H