Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku.., Lelah

21 Mei 2014   06:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337307" align="aligncenter" width="444" caption="ilustrasi: azstory311.blogspot.com"][/caption]

Aku.., Lelah

Ratna, gadis kecil berusia delapan tahun. Nama yang indah, bermakna ‘permata’. Namun, keindahan namanya bertolak belakang dengan kehidupan yang ia jalani. Nama itu bukan pemberian ayahanda tercintanya, tidak juga ibunda terkasih. Nama itu pemberian pemilik panti asuhan tempat ia sekarang tinggal. Hidup dengan segala penderitaan yang menyiksa tubuh kecilnya. Memaksanya bertunduk di bawah kaki kejamnya dunia.

Tidak sekali pun ‘Dewi Fortuna’ menyambanginya. Membuainya dengan asa yang indah. Membelai lembut rambut kusam se-bahunya di kala malam menjelang. Paling tidak, mendengarkan segala keluh-kesah derita dan kesengsaraan yang terbersit halus, bergetar dari bibir mungilnya yang memar, terluka. Tidak pernah sekali jua.

Ratna, gadis kecil yang resah. Resah menanti malam berakhir. Berharap pada Tuhan –jika Dia memanglah ada—semoga malam tiada pernah berakhir. Biarlah selalu gelap menyelubung. Daripada terangnya siang hanya akan membawa derita berulang. Tak berujung. Awal tragis menghampiri semenjak dalam kandungan. Semua berawal dari delapan tahun yang lalu.

***

Dua insan memadu kasih asmara. Indahnya dunia memabukkan keduanya. Nikmatnya surga dunia membutakan pandangan. Adat budaya leluhur mengajar tiada dipedulikan. Nasihat orangtua terabaikan. Mulianya agama yang disandang hanya hiasan. Tak bermalu dalam senggama tak bertabu. Tiada sebarang akad yang mengikat tali merah perkawinan. Teruskan saja wahai dua insan. Teruskan saja desahan dan rintihan dalam kenikmatan yang mengungkung nalar di kalbu yang hitam. Memasung logika dalam otak tumpul berkarat.

Teruskan saja pergumulan kalian. Dalam kamar kos yang remang. Deru napas berpacu gerakan tubuh turun-naik, tertahan. Teruskan saja wahai anak manusia. Setan-setan menari riang mengelilingi kalian. Tertawa senang mendapat teman di neraka kelak.

Tidak terlihat Raqib, kemana dia pergi? Meninggalkan Atid yang sibuk menggerakkan tangannya. Menulis pada lembar putih bening dengan pena bulu phoenix-nya dan tintanya dari dosa kalian yang terus-menerus mengalir. Mengalir deras seiring desahan napas kalian tertahan, sebab cairan nutfah tertumpah sudah. Mengalir menjelajahi alam rahim tak pantas. Meski tak sudi memandang.

Wahai anak manusia! Tidakkah kalian tahu? Kala kalian berdua telentang sama puas mereguk tabunya kenikmatan tubuh masing-masing, Malaikat Atid berpaling dari kalian? Kalian berdua berpacu, senyum mabuk selalu mengembang, merekah sensual tubuh yang hangat menggoda, selama itu pula Atid’tak sudi memandang kalian. Meski sudah tugasnya mencatat semua dosa yang membanjiri dunia. Bahkan, dua Qarin sama meraung. Menangisi tingkah kalian berdua, tuan bagi kedua Qarin. Membayang azab Jahanam menimpa mereka jua, meski keduanya lelah menasehati kalian. Membisikkan kebaikan. Percuma, itu tidak akan membantu. Sudah tersurat dalam perjanjian.

Tiga bulan dalam kelakuan yang sama. Betina menangis ratapi kandungan. Jantan tak bermoral lepaskan tanggung jawab. Pertengkaran terjadi di dalam kamar kos yang sama. Bukan pergelutan memanjat kenikmatan, tapi caci-maki menggelegar. Carut-marut sikap dan ucapan. Saling menyalahkan. Betina menolak disudutkan. Jantan pongah tak mau disalahkan. Memangnya ini benih siapa? Sperma siapa yang membuahi? Rahim siapa yang ditanami?

Habis hari berbilang minggu, silih berganti rupa sang bulan. Jalan keluar tak jua ditemukan. Betina malu kandungan membesar. Takut menampar wajah keluarga besar. Jantan resah pada kulikat. Tak ingin kabar tersiar, apalagi sanak famili dan ulayat. Di ujung keputus asaan, rayuan anak-anak iblis jadi acuan. Terbesit niat jahat menggugurkan. Seakan tak cukup dosa penyesalan.

Betina-jantan berwujud manusia. Penyandang pujian makhluk sempurna. Kesempurnan konon melampaui keagungan para malaikat. Kini pujian luruh sudah, tiada sebarang malaikat sudi memandang. Tidak jua Atid berpaling sedih. Hanya Qarin setia bermulut manis. Membujuk. Harap bisa ke surga di akhir masa kelak.

Sekali lagi Raqib menghilang. Memaksa Atid mengguris dalam. Seakan mencambuk Qarin meraung panjang. Ad-Dam’u histeris, menangis sejadi-jadinya. Kala Arham datang melayat. Membawa ruh kehidupan titipan Ilahi. Ia hanya sendiri tidak ditemani Mikail. Ruh telah ditempatkan, ajal telah ditetapkan. Dan, derita telah dituliskan.

Jabang Ratna menggeliat. Tetap tegar meski usaha betina-jantan sedaya upaya. Menolak datangnya kematian. Sebab Tuhan menentukan lain.

***

Sembilan bulan kurang sepuluh hari. Jauh hari dari kata wajar. Ratna tak bernama lahir ke dunia. Dalam pengap kamar yang sunyi. Terasing dari hingar-bingarnya negeri. Bayi Ratna tidak menangis, sebab tahu kematian siap dihantar tangan bengis. Berterimakasihlah pada Qarin, sebab kali ini sanggup menggetarkan emosi. Betina bersujud di kaki jantan. Ratap memohon tangan jangan mencekik.

“Biarkan dia hidup, meski di lain tempat…”

Jantan tak tahu diri, menyetujui ajakan. Membungkus bayi dengan kain seadanya. Berboncengan naik motor, Ratna belum bernama tetap diam dalam dus mie instan. Wajah indah bak purnama, imut menggoda. Tiada jua mampu surutkan langkah jantan-betina. Jauh mengarungi jalan beraspal. Ratusan gang, puluhan persimpangan, belasan jalan besar. Hingga langkah terhenti. Jantan waspada suasana sekitar. Betina turun membawa dus. Menaruh dus di depan pagar rumah mewah. Ratna belum bernama membuka mata, mengerling indah mata yang bening, mengulas senyum manis di bibir mungil. Qarin kecil menemani, merayu yang besar lebih berusaha. Qarin besar tiada berdaya, sang tuan dinaungi gelapnya setan.

Tidak ada pelukan terakhir, tidak pula kecupan. Tiada air mata perpisahan, alih-alih rasa penyesalan. Bayi Ratna belum bernama tidur pasrah dalam dus mie instan, ditinggal pergi ayahanda-bunda selamanya. Bukan dijemput kematian, tapi menyongsong dosa yang lebih besar. Ad-Dam’u tertunduk muka, derai air mata mengalir tak sudah. Duhai Adam di mula, aku tahu kau menangis ratapi cucumu. Wahai Hawa di asal, derai matamu tak akan merubah keadaan.

***

Bayi mungil berumur satu hari, dipungut nyonya pemilik rumah mewah. Heran memandang berkeliling, tiada satu jua yang ia dapati. Berseru menyahut nama suami. Suami datang menghampiri. Terbesit heran dalam tanya. Siapakah gerangan membuang bayi tak bernama?

Bayi mungil usia satu hari, dibawa nyonya dengan senyum berseri. Melangkah masuk ke dalam mewahnya istana, didampingi tuan berpakaian elegan. Nyonya dan tuan tiada kesempatan mendapat keturunan. Memutuskan adopsi sebagai pilihan. Bukannya bersyukur mendapat kesempatan. Namun niat terselubung jahatnya pikiran.

“Karena kau indah, kuberi nama Ratna…”

Tuan tertawa girang. Mengangkat tinggi bayi bernama Ratna. Nyonya tersenyum licik membayangkan harta. Bergelimangan harta itu lebih baik.

“Permata, Ha-ha-ha... Kau akan memberi kami kekayaan.”

Bermulalah penderitaan bayi bernama Ratna. Nyonya dan tuan tidak menginginkan anak angkat. Tidak pula pengganti kedudukan. Konon pula mewarisi harta kekayaan. Tidak. Nyonya hanya ingin gelimangan harta menimbun. Tuan cuma mau dipandang tinggi. Persekongkolan ditemani iblis, dengan pejabat negeri rakus pada amplop membuncit. Berdirilah satu yayasan mengatas namakan kemanusiaan.

Bayi Ratna penghuni pertama. Berselang hari,silih berganti minggu, berulang-ulang bulan, meninggalkan tahun demi tahun. Datang ke-dua, tiga, lima, delapan, hingga lima belas. Tiada hari mereka lalui tanpa satu siksa mendera. Pengasuh-pengasuh bermental bobrok. Hasil gagal teori evolusi Darwin. Kalau bukan sumpah serapah dan makian jorok, pastilah tangan dan kaki ikut menohok. Nyonya kaya tahu mereka disakiti. Tiada pernah ambil peduli. Makan berbagi dominasi mie, lagi, lagi dan lagi.

***

Ratna, gadis kecil tak pernah berkilau seperti permata. Menunggu siang takut di dada melanda. Dipaksa pengasuh untuk bekerja. Di saat nyonya sibuk pamer harta. Pada tetangga, sanak keluarga. Dan tuan pula sibuk bercitra diri. Dipandang tinggi mata masyarakat. Dijunjung dan disanjung rekan sejawat. Nama melambung sebagai penyelamat. Dalam setiap media bersirat. Dari hujat hingga hajat.

Benar. Ratna kecil dan teman dipaksa bekerja. Sapu mengepel tiap sudut ruang. Bangunan panti dan rumah mewah. Tiap jengkal terlewat, satu cubitan siap melekat. Menyisakan memar kecil perih di badan. Cuci sekalian gelas dan piring, jangan sampai ada yang pecah bila tidak ingin ditempeleng. Cucilah baju dan celana, jangan merusak milik tuan dan nyonya. Bila terjadi, siap-siaplah diri disabet dilecuti. Gesper ikat pinggang sabuk pun jadi. Apapun asal bisa meninggalkan bekas merah perih memanjang di tubuh mereka. jangan berani menangis, apalagi menjerit-jerit. Bila tidak ingin kepala membengkak, rambut berguguran dijambak kasar. Paling bagus, kuping panas serasa putus dijewer kencang. Atau, bibir pecah kena tamparan. Ratna, gadis kecil dan teman dipaksa tunduk. Merendahkan diri di bawah kaki jahanam terkutuk.

Ratna, gadis kecil penat tak pernah istirahat. Kata sederhana yang sulit didapat. Pengasuh sibuk on-line mengawas ketat. Chatting terus dan terus jiwa yang bejat. Sinting menggila tawa semburat. Kesal sedikit bilah rotan langsung melesat. Sakit. Terpaksa ditahan, memar merah membengkak. Kaki kecil melangkah terseok. Tak ada lagi air mata yang bisa dikeluarkan. Mengering sudah ratapi buruknya nasib mendera.

Ratna, gadis kecil yang terkucil. Bila ada kesempatan mengintip keluar pagar. Mata yang bening memandang cemburu. Pada anak-anak yang bermain riang di lapangan kecil. Berlarian senang berebutan bola kaki. Tendang sana tendang sini. Iri pada mereka. Anak-anak perempuan tertawa senang, bermain tali dari jalinan karet gelang. Lompat sana lompat sini. Aku ingin seperti mereka… Bermain girang tiada beban. Ditemani ayah-bunda. Tersenyum indah dalam pelukan bunda. Seperti apa rasanya? Tertawa lepas diangkat ayah tinggi ke atas. Terbang melayang. Pasti menyenangkan… Ratna cemburu. Ingin menangis tapi air mata tak jua mau keluar.

Ratna, gadis kecil yang kusam. Isak tertahan di keheningan malam. Duduk di sudut memeluk lutut. Terisak lagi, dan lagi. Memaksa keluar air mata, tetap saja tiada yang bisa dikeluarkan. Mata bengkak memerah. Meraba luka memar panjang membengkak. Di tangan, di kaki. Tak ada lagi ruang untuk luka baru.

“Tuhan, Ratna gak kenal Kamu… Ratna juga gak kenal Ibu… Ayah. Bolehkah Ratna kenalan dengan-Mu Tuhan? Ratna su-suka berteman… Kata mereka, Kamu baik… Suka ngasi kado. Ratna.., mo jadi teman Tuhan, biar dapat kado juga. Ratna janji Tuhan, Ratna gak minta kado yang lain, Ratna… mo minta satu kado aja, engg… ta-tapi, apa kita sudah jadi temenan Tuhan? Ratna, Ratna cuma mo ketemu Bunda, Ayah. Boleh gak Tuhan? Engg.. ka-kalo gak boleh, Ra-Ratna minta kado nggpoto Bunda dan Ayah aja. Ratna mo liat wa-wajah mereka, Tuhan… Tuhan, Tuhan gak mau ya temenan ma Ratna?”

***

Ratna, gadis kecil bertekad pasti. Menunggu datangnya siang dengan secuil harapan. Hari ini seorang tukang datang. Membenahi kanopi yang rusak. Sisi belakang bangunan yayasan. Ratna melangkah turun. Menapaki anak tangga. Turun ke lantai bawah. Tidak ada, para pengasuh itu tidak ada. Teruskan saja langkahmu Ratna. Jangan hiraukan para pengasuh bejat itu. Satu dari mereka telah menyingkirkan Raqib. Memaksa Atid menggoreskan tinta dosa di tajamnya ujung pena bulu phoenix. Bersenggama bukan pasangan sah. Sebegitu mudahnya menyodorkan ikan, hingga kucing liar tersenyum menjilati.

Tidak, Jangan kau berhenti di pintu kamar itu! Jangan rusak memori di kepalamu dengan adegan mereka yang terlarang. Teruskan saja langkahmu!

Benar. Berputarlah ke pintu belakang yang terbuka lebar. Lihat! Tidak seorang pun ada di sana. Benar, teruskan saja langkahmu Ratna. Dewi Fortuna untuk kali ini berpihak padamu Ratna. Kamu lihat itu? Sebuah tangga lipat, tersandar ke dinding tembok. Cepat sayang, cepatlah kau panjat tangga itu! Ada suara langkah menuju dapur. Cepat Ratna, cepat! Bagus, teruskan!

Sakit? Jangan menangis, jangan mengaduh! Abaikan saja luka tertusuk kawat berduri, teruslah memanjat! Sedikit lagi. Benar. Melompatlah cepat, melompat keluar. Jangan takut! Rumput ilalang tebal akan menyambutmu. Lompatlah melompat.

Lari sayang, larilah menuju semak belukar. Abaikan saja luka sayat-sayat halus di sekujur tangan dan kaki. Teruslah berlari! Sembunyikan dirimu di balik pepohonan rimbun. Benar. Jangan menangis! Jangan luahkan rasa senangmu dahulu, tunggu hingga kau benar-benar menjauh.

***

Ratna, gadis kecil lusuh melangkah gontai. Tubuh kusam berdebu. Terus melangkah tak pedulikan bahaya lalu-lalang kendaraan. Gatal di tubuh merajalela. Sayat-sayat halus memerah disengat panasnya cahaya mentari. Perih terbakar. Wahai sembilan Malaikat penjaga matahari..! Tidakkah kalian mengasihani tubuh kecil itu? Duhai Ar-Ra’d kumohon, gunakanlah cambuk petirmu mengawal awan, naungi Ratnaku yang perih gatal kepanasan.

Matahari seolah tiada mengasihani. Ratna, gadis kecil tersisih hari. Menapaki panasnya aspal jalanan. Hanya beralaskan sandal jepit menipis. Yang kiri, telah putus pula. Hanya semangat saja yang terus membawanya. Meski tiada tahu harus ke mana. Biarlah melangkah setapak demi setapak. Menjauh. Dan semakin jauh.

Ratna, gadis kecil yang malang. Bukan mutu manikam, tapi perih hidup yang merajam. Terpaku hening di tengah keramaian pasar. Kiri-kanan berjejer penjual makanan. Putih merisih, kuning mengerling, hijau memukau, merah merona, menggoda liur tak sanggup menetes. Kering kerontang seraknya tenggorokan. Apa lacur? Tidak sepeser uang kau punya. Tenggorokan turun-naik menelan ludah yang mengering. Memandang sayu seorang anak seusia. Menjilati es-krim nikmat luarbiasa, meleleh di sudut bibir yang maruk, menetes mubazir di atas lantai jalan.

Pergilah dari sana Ratna! Ibu anak itu menyadari keberadaanmu. Lihatlah! Saksikanlah pongahnya dunia sayang! Tiada rasa kasihan padamu Ratna, tidak sedikit pun tersirat dari sorot mata berlapis softlens biru itu. Tidak jua mereka yang lain. Mereka melihat dirimu, tapi kau tak dianggap, sayang. Kau lihat Ratna sayang? Dia merasa jijik akan dirimu. Mencibir kumuhnya tubuhmu. Jangan pernah mengemis sayang, jangan. Bunda Hawa melahirkan keturunan bukan untuk menjadi pengemis. Ayahanda Adam tidak suka itu. Kau ingin bertemu mereka berdua? Nanti, di surga kelak.

Lihat ke kirimu sayang! Benar. Seorang nenek tua renta duduk berlutut, pasrah menatapi dagangannya dengan bola mata buram kelabu. Kau lihat? Dia sama seperti dirimu Ratna. Jauh lebih tua darimu yang belum setahun jagung. Kau lihat? Dia tidak mengemis. Meski buntalan tebal daun pisang dagangannya tidak ada yang menawar.

***

Ratna, gadis kecil yang kumal. Langkah kecil terseok, membawa tubuh rentan kelaparan. Di kawasan perumahan elite. Terasa sejuk dinaungi pohon-pohon besar. Tidak banyak orang-orang berkeliaran.

Sudahlah sayang, istirahatkanlah sejenak pegalnya kakimu! Itu lihat! Di bawah pohon mangga itu, kamu lihat Ratnaku sayang!

Ratna, gadis kecil dengan perut melilit. Melangkah ragu. Mendekati pohon mangga. Satu, dua, ada empat buah mangga ranum yang berjatuhan. Apakah ini mencuri? Tapi, pohon mangga tumbuh di tepi jalan. Bukan dalam pekarangan.

“Tuhan, Ratna lapar! Ta-tapi, Ratna gak mau mencuri, Tuhan...”

Ratna, gadis kecil berjongkok letih. Memungut satu buah mangga ranum. Ragu pada pendirian. Dosakah bila mengambilnya? Salahkah bila ingin memakannya? Tidak mengapa sayang… sepertinya ini pemberian ‘Mikail’. Ganjallah perutmu yang kurus mengempis itu Ratna! Makanlah!

“Hei!” suara wanita tiga puluh lima tahun menegur. Menghentikan keasikan Ratna menyantap buah mangga ranum.

Ratna, gadis kecil berpaling. Tatapan mata sayu menghiba. Berharap wanita itu tidak akan mempersoalkan mangga yang hanya sebuah saja. Takut, Ratna takut, Tuhan…

“Kamu mencuri?!” tuduhan itu laksana tajam tombak, menghujam ke relung jiwa.

“Ma-maaf Buk. Ra-Ratna lapar, engg… cuma, cuma buah yang di tanah..”

Ratna, gadis kecil terpukul. Cemas dalam ketakutan akan tuduhan. Hanya bisa memelas, bukan mengemis. Wanita itu diam. Menatap Ratna yang lusuh. Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Kumal. Menatap lekat pada wajah dekil, sedikit gusar. Ia melihat satu tahi lalat kecil di bawah mata kiri Ratna.

Ya Tuhan, yaa Ghafuur… dia, dia si betina yang membuang Ratnaku.!!

Hei betina.! Dia darah dagingmu, tidakkah kau mengenalinya lagi? Benar, tahi lalat itu penandanya. Kau ingat? Dia yang kau telantarkan di depan rumah mewah delapan tahun yang lalu. Dia yang kau buang, hanya untuk merasakan penderitaan. Kau.. kau sekarang hidup enak. Tinggal di rumah megah di kawasan elite ini. Pandanglah wajah Ratnaku! Pandanglah matanya! Hei Qarin tuan wanitamu, bantu aku sadarkan tuanmu! Benar, bantu aku mengingatkannya!

Ratna! Ratnaku sayang! Dia ibumu sayang, dia ibumu. Ratna, kau tidak ingat sayang? Kau pernah merekam wajahnya dalam beningnya bola mata indahmu kala bayi. Kau pasti mengingatnya! Buka lagi kenanganmu sayang! Buka lagi! Paksakan semua sel dalam tempurung kepalamu untuk mengingat! Paksakan sayang! Buka memori yang tersimpan lama! Berdebu, berkarat, paksakan sayang, paksakan saja!

“Tunggu sebentar!” betina itu melangkah. Kembali masuk ke dalam istananya yang pongah.

Ratna, gadis kecilku terpaku. Diam tak bergerak, tak bersuara. Betina itu kembali. Membawa sepiring nasi dan segelas air putih.

Terimakasih saudara Qarin-ku, kau sedikit memperbaiki sikap tuanmu. Tapi aku tidak ingin itu. Bukakan memori tuanmu! Agar betina itu ingat, mengenali Ratnaku. Bukakan! Jangan menyerah saudara Qarin-ku, jangan menyerah. Bukankah kita ingin bersama lagi dengan yang lainnya di surga nanti!?

“Makanlah!” betina yang tak menyadari darah daging sendiri, memberi Ratnaku sepiring nasi dan segelas air putih. “Makanlah! Sepertinya kamu benar-benar kelaparan.” Benar. Dia kelaparan. Ratnaku kelaparan. Kelaparan akan hadirmu betina! Kehausan akan kasih sayangmu!

Ya Tuhan, yaa Khabiir… bukakan mata wanita itu Tuhan, agar ia mengenal Ratnaku, darah dagingnya sendri…

“Te-terimakasih Buk.” Ratna, gadis kecil yang kelaparan. Menatap haru wanita itu, yang belum jua menyadari darah daging sendiri. “Tuhan, Ibuk ini baik sekali. Dia ngasi Ratna makan… Air ini dingin, nikmat sekali, Tuhan. Ra-Ratna ingin, engg... Tuhan juga, mau berteman sama Ibuk ini.”

Kau lihat itu betina! Kau lihat! Ratnaku punya sopan santun. Ratnaku punya kebaikan tulus. Meski kau tiada pernah mengajar.

Hei, Raqib! Kenapa kau menggerakkan tanganmu? Menulis lembar emas di ujung lembutnya pena bulu merak kahyanganmu? Apa kau tersentuh kebaikan betina yang sedikit itu?

“Mama!” sang suami datang menghardik. “Apa-apaan Mama itu?!” delik mata tak senang. Raut wajah mengelam. Mendengus najis menatap Ratna, gadis kecilku.

Bukan. Dia bukan jantan berengsek yang dulu menyemburkan spermanya ke dalam rahim betina itu. Bukan. Dia hanya jantan lain perwujudan Lucifer’di muka bumi.

“Pa! Kasihan Pa, dia kelaparan!” betina berharap jantannya memberi hati.

Ratna, gadis kecilku nan malang. Hadirmu tak disukai orang. Bau badanmu yang menyegit, dekil tubuhmu memaksa jantan itu meludah. Hanya tertunduk. Hentikan suapan tak tuntas. Hentikan kunyahan tertelan.

“Papa gak suka Mama ngasi orang gak jelas makan sembarangan!” kebengisan Lucifer jelas mengganti wajah pria itu. Merebut paksa piring di tangan Ratna, gadis kecil terkesiap. Merebut gelas di tangan, hingga separuh airnya tumpah ke bumi.

“Pa!” betina merasa tidak enak pada Ratna, gadis kecil tertunduk.

“Apa Mama tau jika dia gak membawa kuman penyakit?!” jantan bengis membanting piring dan gelas ke dalam selokan. Jijik. Pecah berderai. Mubazir, sangat mubazir.

Sudahlah Ratna, gadis kecilku tak dianggap. Pergi sajalah dari sana, sayang! Paksakan letihnya kakimu melangkah! Tidak! Jangan menangis sayang, jangan! Kau lihat itu Ratnaku sayang! Atid kembali menuntaskan tugasnya.

Tinggalkan saja mereka, jangan berpaling! Teruskan saja langkahmu sayang, teruskan!

‘Tolong kami, bantu kami’

‘Anak-anak yatim piatu

‘Hidup kami di dunia, tak ber-Bapak, tak ber-Ibu’

‘Aduhai insan-insani… Tolonglah kami...’

***

Ratna, gadis kecil lusuh kumal. Kaki lelah menapaki senja. Lunglai tak bertenaga, terseok hampir jatuh. Langit senja jauh dari kata merah tembaga. Hitam pekat menerawang. Mega mendung menggantung di ujung hari.

Ratna, gadis kecilku terus melangkah. Tampang lusuh dan kuyu tak mampu membuat seorang pun tergugah. Hanya suara adzan maghrib menemani langkah. Menggema indah segala penjuru arah. Menembus tinggi pekatnya mendung berbilah. Hanya sekejap saja. Hanya sekejap. Setelah itu, hanya keheningan menaungi badan. Jalanan ini kian sepi. Satu-dua saja rumah penduduk yang terlihat. Berjauhan. Rintik-rintik gerimis mulai turun. Ratna, gadis kecil melangkah menyisi. Menjauhi jalanan beraspal. Di sana, sebuah pos ronda tua. Terbengkalai, tak lagi terpakai. Debu tebal menutupi tiap jengkal papan. Jauh dari keramaian. Hanya semak perdu dan rumput ilalang yang membayang.

Ratna, gadis kecil yang malang melangkah gontai. Mencari perlindungan dalam pos ronda kusam. Berlindung dari dinginnya malam menjelang. Pasrah duduk terhenyak di sudut ruang. Nanar memandang jauh jalanan di depan. Di atas bangku usang. Desau angin membuatnya ketakutan. Rintik gerimis kian bertambah rapat. Ratna kecil melihat seorang pria menghentikan motornya. Menatap aneh pada diri yang lusuh di bahu jalan.

Pria tiga puluh delapan tahun datang menghampiri. Apa Bapak ini mau berlindung dari gerimis yang turun? Tatapannya penuh selidik. Ia memandang ke belakang. Sepi. Tidak seorang pun yang terlihat.

“Kamu tinggal di sini?”

Ratna, gadis kecil lusuh menggeleng lemah menanggapi pertanyaan orang. Kembali pria itu memandang ke belakang. Ke sekeliling. Sepi, seperti tadi. Ia mengambil sesuatu dari motornya. Sebotol air mineral.

“Kamu, dari mana kamu?” dan pria itu lebih mendekat. Duduk di depan Ratna kecil yang kedinginan. Kembali menggeleng. Ia menyodorkan botol itu. Ratna, gadis kecil yang haus ragu-ragu menerima. Memuntir tutup botol, dan mereguk isinya. Ratna, gadis kecilku nan malang tersedak. Rasa air itu tidak enak. Tidak seperti air putih kebanyakan. Alkohol.

Ratna, gadis kecil lesu tersentak. Satu kilatan petir menyambar angkasa. Memberi sedikit ruang terang. Pria itu mendelik, tak senang Ratna memuntahkan cairan.

Gak tau di untung..! Dikasih minum malah dibuang..!”

Ratna, gadis kecil lugu ketakutan. Pria berniat culas menampar. Ratna yang lemah tersungkur di lantai. Becek. Atap loteng pos tua telah banyak yang bocor.

Yaa Tuhan, yaa Muhaimin! i-itu jantan tak bermoral, pemilik darah yang mengalir dalam tubuh kecil Ratnaku. Tuhan, apa lagi yang akan dilakukan durjana itu pada Ratnaku?

Yaa Muhaimin, yaa Mu’minin… peliharalah Ratna kecilku, pelihara dia dalam rasa aman, Tuhan!

Ratna! Lari sayang, lari! Selamatkan dirimu sayang!

Jantan bemoral bejat. Tersengat hasrat selangkangan. Buta mata buta hati. Mencengkeram kuat tubuh telentang. Ratna, gadis kecil berteriak lantang. Memohon dalam ratap tangis berguncang. Di tengah deru hujan jatuh melebat. Ditingkah gelegar petir menyambar. Jantan binatang dipenuhi nafsu setan. Merobek-robek pakaian lusuh Ratna kecil. Sepasang mata iblis membelalak senang. Nafsu memburu pada setumpuk daging di selangkangan.

Wahai Ar-Ra’d apa kau buta? Hentikan gelegar cambuk petirmu! Agar orang-orang mendengar jerit tangis Ratnaku. Singkirkan hujan dan awan mendungmu! Biar orang-orang melihat Ratnaku meraung ditindih tubuh bejat.

Mikail! Tidakkah kau kasihan pada Ratnaku? Kumohon! Serukanlah pada Ar-Ra’d agar ia menghentikan hujannya.

Duhai saudara Qarin-ku hentikan kelakuan tuanmu! Hentikan!

Jangan pergi Raqib, jangan pergi! Hentikan Atid! Berhenti mencatat dosa jantan laknat! Kumohon! Tidakkah kalian bisa menghentikan jantan pedofilia itu? kumohon!

Seseorang, Malaikat, Qarin, bantu aku menghentikan kepiluan ini! Siapa saja! Kumohon, hentikan laknat itu menyakiti tubuh perawan Ratna kecilku! Hentikan dia!

Jantan bejat! Hentikan tindakanmu! Tubuh itu terlarang untuk kau nikmati. Ratnaku terlarang untuk kau perkosa! Buka matamu, Laknat! Dia, dia itu darah dagingmu! Anak kandungmu!

Jibril yang agung! Kumohon! Dengarkanlah rintih tangis Ratnaku. Lihatlah tubuh kecil Ratnaku menggelepar. Meronta-ronta di tengah deru buas nafsu binatang! Kumohon… Hentikan dia! Kasihanilah! Sedikit saja, kasihani!

Aku mohon…

***

Ratna, gadis kecilku kian malang. Terlentang seorang diri. Nanar tatapanmu tiada bercahaya. Merawang langit malam di tengah derasnya hujan. Pasrah digenangi air tergenang. Aku tidak bisa membedakan! Mana air mata, mana air hujan berlinang di wajahmu, sayang? Tangis terisak terabaikan. Gemuruh di dada lemah tak bertenaga. Menahan sakit dan perih di selangkangan terkoyak. Jantan bejat bapak biadab meninggalkan Ratna kecil begitu saja. Berpuas hati menikmati perawan. Kemalaun di selangkangan tidak pernah jera. Mengumbar syahwat ke mana-mana. Dari daging yang satu ke daging yang lainnya. Besar kecil tiada peduli, asal hasrat terpenuhi. Menyisakan sperma mengering.

Ratna, gadis kecilku yang kian redup. Tertatih bangkit merasa perih. Berjalan pincang pedih merajang. Lelehan darah mengalir dari celah kedua paha. Turun deras di ujung jari kaki. Memudar larut dalam genangan hujan. Lagi, lagi dan lagi. Ratna, gadis kecilku malang melangkah tertatih di tengah derasnya hujan.

Kenapa kau tersenyum begitu sayang? Kenapa berhenti menangis? Ratna! Kau hendak ke mana, sayang? Ke mana kau membawa langkah?

Ratna, gadis kecilku menggigil. Dingin merasuk tubuh yang sakit. Merajam tulang di tengah derai hujan. Sapuan angin menambah parah gemetarnya tubuh. Ratna kecil terus berjalan. Menyusuri jembatan tak berpagar. Licin.

Ratna, gadis kecilku sayang, gadis kecilku malang. Terpeleset jatuh membentur palang. Luka menganga alirkan darah di kepala. Terguling lagi, jatuh ke jurang. Jurang yang dalam. Membentur keras batu besar di bawah. Berguling. Tercebur di derasnya aliran kencang.

Seseorang! Tolong Ratnaku. Aku mohon pada kalian! Para Malaikat, butakah kalian!?

Ratna! Kumohon, dengarkan suaraku! Yaa Tuhan, Ratnaku tidak bisa berenang! Yaa Waduud, kasihanilah Ratnaku. Ra-Ratnaku terombang-ambing. Diseret riam air sungai.

Ratna! Buka matamu sayang, buka! Tidakkah kau tahu, kau hanyut? Riam ini membawamu kian jauh. Ratna, buka matamu sayang! Kenapa kau malah tersenyum, Ratna?! Buka matamu!

Ra-ratna! Aku melihat cahaya putih keemasan, Ratna. Melesat cepat ke arahmu Ratna! A-aku tidak tahu siapa itu? Meninggalkan bayang panjang berkilauan. Ratna! Buka matamu sayang! Dia menghampirimu…

Siapa? Siapa itu? Malak al-Maut, kah? Ruh al-Qudus, kah?

Ratna, gadis kecil terbuang masih tersenyum. Mengambang di permukaan sungai yang tak lagi berkecamuk. Perlahan membuka sepasang mata. Bengkak lebam. Sebelah kanan memerah tergenang darah. Ratna, gadis kecil merasa seseorang memangkunya. Menyapanya dengan wajah lembut tiada tara.

“Si-siapa?” Ratna kecil tak sanggup melihat jelas. Kedua tangan lumpuh tak kuasa mengucek mata yang saru. Wajah itu sangat indah memesona. “A-apakah ka-kamu teman Tuhan?” wajah indah itu mengangguk tersenyum. Mengedipkan sebelah matanya. Ratna, gadis kecil nan lemah menunggu ajal tersenyum tak kalah manis. “Ja-jadi, Tuhan mau temenan ma Ra-Ratna.?” Cahaya putih keemasan mengangguk.

Ratna, gadis kecil yang dibuang tersenyum tulus. Segulir kehangatan mengalir pelan dari mata yang lebam. “Ra-Ratna, lelah…”

“Stt… sudahlah, kamu sudah letih. Tubuh lemahmu sudah tidak kuasa lagi, sudahlah! Tidurlah, tidur! Beristirahatlah dengan tenang duhai anak-cucu Adam… bila nanti kau terjaga, Tuhan temanmu telah menyiapkan kado.”

Ratna! Ke mana mereka membawamu pergi?!

Ratna! A-aku tidak bisa melihatmu. Sayap cahaya emas itu menutupi pandanganku, Ratna! Ke mana?

Ratna…!

***

Bunda!

Kau perlakukan aku begini, aku tidak marah.

Aku tahu, hadirku di rahimmu adalah kenistaan bagimu,

Mungkin juga kau akan menderita.

Aku tahu Bunda, bukan karena aku yang seperti benalu, yang akan menghisap sari kehidupanmu, menjadikan tubuhmu inang untuk hidupku di alammu.

Bukan pula pada bulan yang sembilan dengan hari yang sepuluh, bahkan mungkin seluruh sisa hayatmu.

Bukan Bunda, aku tahu.

Sebab hadirku akan memaksamu bertunduk muka, berpaling wajah dalam setiap langkahmu berpijak, menghadapi dunia ini.

Hadirku hanya akan menyudutkanmu Bunda, memerahkan wajahmu yang aku hayalkan seindah rembulan penuh, menumpahkan sepasang aliran sungai di indahnya bola matamu yang hitam, mungkin hingga kekeringan Bunda.

Tidak Bunda, aku tidak ingin itu semua menimpamu.

Tahukah engkau wahai Bunda yang tiadakan pernah sempat kupeluk dan kurasakan hangatnya tubuhmu?

Tahukah engkau wahai Bunda yang tak-kan bisa kurindu purnama di wajahmu?

Tahukah engkau duhai Bunda yang inginku tak-kan pernah kesampaian mengecup keningmu, halusnya rambutmu yang menghitam?

Tahukah engkau duhai Bunda yang tiada pernah terpenuhi telinga ini dengan merdunya suaramu?

Tahukah engkau duhai Bunda? Aku tetap mencintai mu… walau hadirku di alam rahimmu hanyalah sesaat.

Walau hadirku tiada pernah engkau harapkan, tiada pernah diiinginkan, tidak pula bagi lelaki yang mungkin saja Ayahandaku.

Meski se-isi dunia ini menghujat, aku masih tetap mencintai mu… Bunda.

Kau tahu kenapa Bunda?

Aku tidak akan pernah mempersoalkan semua tindakanmu terhadapku, tidak Bunda, tidak sama sekali.

Sebab hadirku bukanlah hujatan akan dirimu, Bunda…

Hadirku adalah pengingat untukmu, pengingat akan indahnya duniamu yang tak-kan mungkin kulihat.

Pengingatmu pada gemerisik dedaunan di pohon-pohon dalam desau angin yang semilir, pada gemericik tetesan-tetesan air di padang rumput menghijau tepat di kala mana anak-anak kecil bermain riang.

Hadirku, pengingatmu… betapa agung dan indahnya hidup itu.

Bunda!

Aku tidak akan pernah mau menghakimimu, meski kesempatan dijatuhkan atas pundakku, tidak Bunda, tidak.

Jikalaulah memang kesempatan itu disematkan pada pita suara yang tiada bergema ini, hanya satu inginku Bunda, hanya satu…

Apa dosaku Bunda?

***

-----------------------------------------------------

Sumber cerita: dari berbagai sumber.

Sumber syair: penggalan lagu karya Tan Sri P.Ramlee

: Andai Aku Bisa Mengeluh. (karya pribadi)

------------------------------------------------------------------------

Catatan;

-----------

Kulikat: perangai, sikap.

Dewi Fortuna: dewi/dewa keberuntungan/kesempatan (Romawi)

Raqib: Malaikat pencatat amal kabaikan/pahala manusia selama di dunia.

Atid: Malaikat pencatat keburukan/dosa manusia selama di dunia.

Phoenix: burung mitos dari beberapa kebudayaan (sebagian menyebut: Merak Kahyangan)

Qarin: Malaikat pendamping manusia dari lahir hingga ke hari penghakiman (sebagian menyebut: Jin Pendamping)

Ad-Dam’u: Malaikat yang akan menangisi tiap dosa yang diperbuat anak keturunan Adam.

Arham: Malaikat yang diperintahkan Allah meniupkan ruh, menetapkan rizki, ajal, amal, celaka atau bahagia pada saat janin memasuki usia 4 bulan kehamilan.

Teori Darwin: teori yang menyatakan manusia adalah hasil evolusi bangsa kera.

Ar-Ra’d: Malaikat pengatur awan dan hujan, menggunakan petir sebagai cambuknya.

Malaikat penjaga Matahari: 9 Malaikat yang terus menerus menghujani salju ke inti matahari. Muhammad bersabda: "Kepada matahari diutus sembilan Malaikat. Setiap harinya mereka menghujani matahari dengan salju. Seandainya tidaklah demikian niscaya tiada sesuatupun yang terkena sinar matahari melainkan pasti terbakar." (Hadits riwayat Thabrani melalui Abu Umamah)

Ghafuur : (Asma’ul Husna: Al Ghafuur) Yang Maha Memberi Pengampunan.

Khabiir: (Asma’ul Husna: Al Khabiir) Yang Maha Mengenal.

Lucifer: Malaikat buangan, alias Azazil, alias Iblis (dalam Kristen)

Muhaimin: (Asma’ul Husna: Al Muhaimin) Yang Maha Pemelihara.

Mu’minin: (Asma’ul Husna: Al Mu’min) Yang Maha Memberi Keamanan.

Waduud: (Asma’ul Husna: Al Waduud) Yang Maha Mengasihani.

Pedofilia: gangguan kejiwaan (orientasi seksual) fantasi seks pada anak-anak prapuber.

Mikail: Malaikat pemberi rezeki pada semua kehidupan. (Dalam Bibel: Michael; Panglima perang/penghulu para malaikat –malaikat tertinggi) (Ibrani: Mikhael; penghulu para malaikat, pembela israel)

Malak al-Maut: alias Malaikat Maut, pencabut nyawa semua kehidupan. Di Indonesia lebih dikenal dengan nama Malaikat Izrail.

Jibril: alias Ruh al-Qudus, alias Ruh al-Amin: pemimpin para malaikat. Penyampai wahyu Allah pada para Nabi dan Rasul. Tidak tertutup kemungkinan memberi petunjuk/hidayah pada manusia biasa. (dalam Kristen: Gabriel) (Ibrani: Gavriel)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun