Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetaplah Menatap Bintang

26 September 2014   00:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:30 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetaplah Menatap Bintang

Bila cinta tak menjadi milik,

Pasrah kudekap bayang pelik…

Umpama merindu megahnya bulan,

Tiada kudaya tangan tak kesampaian…

*

Kejora pasrah melangkah, turun dari angkutan umum itu. Pakaian dinas PNS itu terlihat kusam, peluh membasahi punggung. Namun bukan itu yang membuatnya nanar menatap langkah sendiri, bukan pula pengap dan aroma yang bercampur aduk di dalam bus itu tadi, bukan! Adalah Uran, atasan Kejora yang membuat logikanya diaduk-aduk.

Memang, Uranlah yang dulu menolong Kejora untuk bisa ‘tembus’ sebagai PNS. Tapi… apa ini tidak berlebihan?! Memintaku menjadi istrinya? Istri muda?! Siapa yang sudi hidup dimadu?! Dan, permintaan itu berujung pada ancaman. Ancaman pada pemecatan dirinya. Kejora tahu itu, ia tahu bila Uran mampu melakukan itu, menghasut siapa saja agar dirinya terpojok, dan pada akhirnya, memaksanya meletakkan titelnya sebagai PNS.

Seperti hari ini. Kejora dipaksa melakukan tugas ini-itu. Jelas-jelas apa yang diminta Uran tersebut, jauh dari bidangnya sendiri. Apa daya? Orang terpegang di hulu, diri berpegang pada tajamnya batang. Hampir setiap hari, setiap berada di kantornya. Semenjak penolakan Kejora pada keinginan Uran, Uran selalu seakan-akan mempersulit Kejora.

Kejora melangkah lesu memasuki rumah kontrakannya. Jam di dinding menunjukan pukul 15:10. Perutnya terasa lapar, namun tiada sedikit jua gairah untuk makan. Lemas, menghempaskan diri begitu saja ke atas pembaringan.

Tuhan… haruskah aku menangisi semua ini? Menyesali?

Atau… yaa, aku akan mengambil keputusan itu! Tekadku sudah bulat, Tuhan!

*

Dering telepon masuk membangunkan Kejora dari tidur lelahnya. Ahh… aku masih mengenakan seragam ini! He-he, ke mana logikaku?

“Yaa, Lan?” ujar Kejora lirih menjawab panggilan itu.

“Ra, ntar malem ngumpul di tempat biasa ya!” pinta suara itu.

“Oke!” Kejora mengangguk lemah. Sambungan terputus.

Kejora menatap penanda waktu di layar handphone-nya. Aah… sudah pukul tujuh!

*

Di dalam bus, sepanjang perjalanan ini, Kejora lebih banyak melamun. Hidupku… bener-bener komplit! Urusan kantor, Pak Uran, dan ini… apa aku masih kuat? Tuhan! Kejora menatap kosong ke luar jendela kaca. Objek yang berkejaran seakan ikut memperparah pemikirannya, seperti menggumpal-gumpal benang yang sudah kusut. Tertunduk lagi.

Ia tahu, Wulan sangat mencintai Awan. Dan keduanya, sahabat baik bagi dirinya. Tapi... yang tidak diketahui Wulan terutama Awan, Kejora juga menyukai Awan, diam-diam memendam benih cinta di dada. Setiap waktu terpupuk keakraban. Jauh… jauh sebelum Wulan memberi tahu, bila gadis itu menjalin benang kasih dengan Awan.

Tidak seorang pun sahabatnya yang mengetahui itu. Tidak Langit, tidak Surya, tidak pula Rinai dan Pelangi. Ia memendamnya sendiri, tidak sekali jua menampakkan pada sahabat-sahabatnya. Namun, ini kian menyiksa, rasa ini menyesakkan dada. Bom waktu, kian hari kian canggung. Serba salah bila selalu berkumpul, bersama.

Apa yang harus kulakukan nanti, Tuhan?

*

Hampir sepanjang malam hingga ke subuh ini, Kejora tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali menutup mata, tiap kali itu juga semua masalah menghampirinya. Seperti sebutir gula berada di tengah-tengah gerombolan semut. Kembali memperparah kusutnya benang. Silih berganti. Wajah atasannya yang picik, senyum manja Wulan, sahabatnya, dan… senyum penuh daya pikat Awan, malam tadi.

Aaghh… Kejora menjambak rambutnya sendiri. Aliran bening hangat telah sejak tadi meleleh dikedua pipi. Ia bangun, wajah yang kusut. Melangkah mendekati meja di sisi pembaringan. Mengambil sehelai kertas, dan menuliskan sesuatu ke atasnya. Sebentar kemudian, menempelkan sebuah materai, dan memasukkan kertas tersebut ke dalam sebuah amplop coklat.

Apa pun yang terjadi, Tuhan… hamba pasrah!

*

“Apa maksud kamu ini!” jelas wajah Uran menggambarkan ketidak senangan pada Kejora.

“Surat pengunduran diri, Pak!” Kejora tetap usahakan untuk tersenyum.

Dan ini, kian memancing emosi Uran. “Kamu ingin bermain-main dengan saya, haa!?” suaranya ditekan agar orang-orang di luar ruangan tidak mendengar emosinya yang membuncah.

“Silakan Bapak robek!” ujar Kejora tersenyum hambar saat melihat Uran akan merobek surat pengunduran dirinya itu. “Saya punya banyak!” baru kau rasa haa! Kuatnya karang menahan amukan ombak! “Permisi!” Kejora memutar tubuh, melangkah keluar dari dalam ruangan. Seulas senyum manis menghiasi bibirnya yang tipis. Puas.

“Kejora!” panggil Uran. Serak, suara keras itu terdengar serak. Itu sudah cukup, menyiratkan penyesalan Uran. Egonya yang tercabik-cabik sebab keinginan mempersunting ditolak, merubahnya menjadi seorang diktator pada Kejora selama ini. Apakan daya, nasi sudah menjadi bubur.

Kejora tidak menghiraukan seruan itu, meski Uran berkali-kali memanggilnya. Tidak pula pandangan aneh rekan-rekan lain di ruangan ini. Hanya tersenyum, dan tersenyum. Terus melangkah, secepatnya meninggalkan gedung ini, perkantoran ini. Uran terhenyak, terduduk lemah menyesali diri.

Sesampai di luar gedung. Kejora menatap langit tinggi. Dua tangan terentang ke atas, senyum manis selalu terukir.

“Aku ingin terbang…” ujarnya lantang, panjang. Tak memedulikan pandangan aneh dari orang-orang di sekitar jalan.

*

Siang ini, Kejora telah mempersiapkan segalanya. Urusan dengan pekerjaannya, kantor… lamanya, ia anggap selesai. Yaah, dia sudah tahu. Dan lagi, surat pengunduran diri itu. Sekarang tinggal satu hal lagi yang mengusutkan pikiran. Sahabat-sahabatnya. Utamanya lagi, Wulan dan Awan.

Yaah, malam ini akan kujelaskan semua… tidak semua!

Yang penting… aku akan berpamitan pada mereka

Itu… lebih baik!

Sejumlah tas dan koper tersusun rapi di ruang depan. Kejora duduk lemah di atas sofa. Kembali memandang ke sekeliling. Banyak kesedihan menggantung di wajahnya. Meninggalkan rumah ini, daerah ini, kota ini… ahh, begitu banyak kenangan yang terukir.

Tapi… hanya akan membawaku ke kegundahan tiada bertepi.

Membenamkanku, karam dan mati!

Bila tetap di sini, asaku hanya semu. Impianku hanya akan menjadi mimpi, pemanis tidur.

Tidak, Tuhan! Tidak! Aku tidak kuat hidup dalam berpura-pura… seperti robot! Tak berjiwa!

Tersenyum orang, tersenyum diri…

Tertawa orang tertawa diri… padahal, yang ditertawakan orang, diri!

Aku tidak kuat!

Tuhan…

*

“Ra, tapi…” Rinai tak bisa menyembunyikan kesedihannya, begitu pun dengan yang lain.

Halaman rumah Pelangi yang teduh dan indah di malam ini, kehilangan kehangatannya. Cerahnya malam berhias ribuan bintang gemintang, tak mampu mencerahkan suasana. Surya duduk memeluk lutut, di bawah pohon bunga tanjung. Langit mendesah, jengah menatap langit malam, hampa. Awan tertunduk, berdiri berpangku tangan, di samping Wulan terisak duduk di kursi rotan.

“Sudahlah, Ri…” Kejora tersenyum menghampiri Rinai, memeluk sahabatnya itu. “Aku… sudah mengambil keputusan ini!”

Rinai kian terisak, gerimis menaungi langit hati. Tiris. Merembes di kedua pelupuk mata. Kejora menghampiri Pelangi yang berjongkok menahan isak.

“Hei…” Kejora berjongkok di hadapan Pelangi. Gadis itu, kehilangan rona pelangi di wajahnya. “La… jangan begini!”

Tidak ada sahutan dari mulut Pelangi, hanya isak yang kian kencang. Menubruk, memeluk, menangis sejadi-jadinya.

“Sudah, La… sudah!” pandangan mata Kejora pun sama. Saru. Digenangi kehangatan.

“Ra!” Awan melangkah, menyentuh pundak Kejora. “Please… apa gak bisa dirubah lagi keputusanmu, Ra!”

Kejora ingin sekali berpaling, menatap dalam wajah itu. Tapi, ia tidak kuasa. Takut. Takut, perasaannya akan tersakiti karena itu. Ia terus memeluk Pelangi. Mengukuhkan hati untuk tidak bertatap muka dengan Awan. Pria yang selama ini diam-diam menjelma indah di relungnya. Dan ia, tidak ingin menyakiti Wulan.

“Ma-maaf… Wan!” aliran sungai di pelupuk mata kian tak terbendung. “A-aku… hanya ingin menghilang… mungkin, tak ingin kembali lagi!”

“Gimana dengan persahabatan ini, Ra?!” suara Surya terdengar serak. “Aah…” ia kesal, kesal pada keadaan. Tangan kanan terasa sakit, meninju batang pohon. Ia tidak peduli. “Kamu… HP-mu gak bisa dihubungi! Gimana jadinya hubungan ini, Ra!”

“Maaf, Sur…” Kejora kian terisak, seakan berlomba dengan Pelangi dalam pelukan. “Aku… aku… HP udah kujual… buat ongkos!” bukan itu alasan sebenarnya. Kejora hanya ingin bersunyi diri, jauh dari semua orang, sahabat.

“Hehh…” Langit mendengus. “Seperti bocah-bocah, haa!” ia melirik pada Kejora, kesal. “Janji persahabatan… dulu… di sini, di tempat ini, cuma hiasan! Mainan anak-anak!”

“Lang, bukan begitu!” jerit Kejora, mengingat janji tak terpisah persahabatan di antara mereka, dulu. “Mengertilah keadaanku, Lang!” Kejora bangkit, setengah berlari menghampiri Langit.

“Padahal… langit malam itu, sama persis seperti saat ini!” Langit tetap berujar, tak menggubris seruan Kejora. “Kau, lupa…” Langit tertunduk lagi, menyembunyikan kesedihannya.

“Ka-kalau… kamu pergi,” ujar Wulan dengan wajah muram umpama bulan tertutup awan hitam. Ia memang tidak tahu perasaan Kejora pada Awan, tidak pula dengan yang lain. “Gi-gimana kita bisa mencarimu, Ra?! Menghubungimu!” ia mengusap dua bola mata yang saru.

“Hei… Wulan,” Kejora mengusap wajahnya, ia tersenyum. Ikhlas. “Rinai, Pelangi, Awan, Langit, Surya… aku tidak melupakan janji kita!”

Kejora melangkah lebih mendekat ke pagar kayu di kiri Langit. Menatap jauh ke ketinggian sana. Tersenyum lagi memandangi bintang-bintang. Kembali berbalik menatap sahabatnya satu per satu.

“Kalian tahu…” Kejora menunjuk langit tinggi. “Tetaplah menatap bintang!”

Kejora tersenyum manis, sekali lagi menatap satu per satu wajah setiap sahabatnya itu. Sebelum akhirnya melangkah, menjauh, keluar dari pekarangan rumah itu, hilang ditelan kegelapan malam diiringi pandangan sayu para sahabat.

Langit malam masih terang. Bulan dan bintang. Namun sendu. seolah dinaungi mendung pekat, dan sebentar lagi... rinai gerimis menutup bulan, menindih awan, mengusir pelangi. Tinggal langit gelap gulita.

*

Bila memang kasih membuat risih,

Biarlah diri hilang menyisih.

Jika cinta tak harus memiliki,

Biarku pergi membawa diri…

Daripada berdekatan hanya akan menyiksa hati.

Bila kerinduanku, kalian begitu tinggi…

Tetaplah pegang janji,

Tetaplah menatap bintang di gelap lazuardi… janji

Persahabatan, sering berakhir pada percintaan. Namun… sangat jarang percintaan berakhir menjadi persahabatan.

Ando Ajo, Jakarta 25 September 2014

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun