Mohon tunggu...
Ando Harapan Gurning
Ando Harapan Gurning Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pantai Losari Makasar

"harta ini kami punyai dalam Bejana tanah liat" (2Kor 4:7a) demikian kata Paulus untuk mengungkapkan jadi dirinya. Tiap-tiap orang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk membagi harta, nilai dan bobot hidup untuk mengabadikan hidupnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saraf Kulturalku

4 April 2022   00:29 Diperbarui: 4 April 2022   00:46 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemaren sekitar pukul 11.00 Wib (Sabtu, 2 April 2022), saya mendengar suara pemadam kebakaran. Dia sedikit berbeda dengan suara ambulance yang mengantar orang yang sedang gawat darurat. Tetapi spontan saya berpikir bahwa ada kebakaran. Tepat pukul duabelas siang, pimpinan komunitasku berkata bahwa ada kebakaran di lembaga sosial yang dikelola oleh komunitas religius. Spontan saya bertanya, "apakah memakan korban?" Jawaban dari pimpinan komunitas, "tidak".  Mendengar pernyataan itu saya pun mengabaikan kejadian itu.

Hari ini saya menjalankan ibadah berdekatan dengan tempat kejadian kebakaran. Setelah menjalankan ibadat, saya diundang oleh pemerhati lembaga sosial itu untuk makan bersama. Saat-saat makan bersama berakhir, saya melihat seorang anggota pemerhati lembaga sosial itu berbisik kepada temannya yang lain. Melihat itu, temannya yang lain langsung mengisahkan peristiwa itu kepadaku. Lalu saya coba memberi pertanyaan-pertanyaan singkat berkaitan dengan kejadian tersebut.

Ternyata, penjelasan singkat itu tidak punya arti bagi mereka. Hal itu dapat terlihat jelas dari pernyataan seorang pemerhati sosial itu yang mengatakan, "hera na so mulak dope tondi hujabu"[sepertinya roh-jiwa belum kembali ke rumah". Sepertinya roh-jiwa masih terlempar dari tubuh dikagetkan oleh peristiwa terbakarnya gudang genset. Mendengar pernyataan itu, saya langsung tersentak, sadar. Rupanya peristiwa itu membuat mereka trauma, takut. Yang mereka pikirkan, seandainya kobaran api itu melalap rumah pasti memakan korban karena penghuninya para saudara disabilitas yang sedang berjuang untuk menerima diri, membangun diri dan meyakinkan diri.

Dalam keadaan terdiam, tiba-tiba salah seorang dari anggota pengelola membawa beras di dalam pinggan putih ke hadapanku. Memoriku langsung terlempar jauh ke pinggiran Danau Toba, saat saya mengalami pengalaman yang sama dalam bentuk kejadian yang berbeda tetapi isinya sama, "hera na so mulak dope tondi hujabu". Saya langsung teringat beberapa syair indah yang dirafalkan ayah dalam susunan sastra religius-magis. 

Memang sampai sekarang tradisi-penghormatan orang Batak Toba terhadap beras (boras) masih seperti belum disentuh oleh arus modernisme (pengaruh kekristenan). Orang Batak, termasuk saya, masih melihat beras sebagai "harbue sakti" buah sakti, penambah jiwa, yang sanggup mempersatukan jiwa-roh-tubuh tatkala mengalami pengalaman traumatik atau setidak-tidaknya kaget terhadap sesuatu hal. Beras, salah satu simbol perlambangan yang masih sulit "ditundalkan" apalagi dalam hubungannya dengan"retaknya hubungan antara Tubuh, Jiwa, dan Roh.  Dalam hal ini sangat dibenarkan  pernyataan Emile Durkheim, "dalam setiap aspek dan momen historisnya, kehidupan sosial tidak dapat tidak harus berhutang budi pada aneka ragam simbolisme" (2011:341). 

Spontan saya memandangi beras yang berada di hadapanku. Saya juga  "keluar" dari diriku untuk menyadari diri sebagai imam Katolik Roma berkulturkan Batak Toba. Akhirnya, kuputuskan untuk lebih dahulu menguduskan beras, "menambahi" emosi spiritual-kultural yang sudah ada pada beras itu sendiri. Dalam doa saya mencoba untuk berdiri teguh pada rasa Latin tetapi saraf kulturalku mendorongku untuk menyisipkan sastra religi Batak Toba, yaitu sastra sebelum misi pemberadaban kekristenan. Akibatnyat muncullah dari hati doa yang bercampur. Penganut dogmatis akan menuduh doaku sinkretis sebab dalam doa saya berseru: semoga beras ini menjadi peneguh jiwa, penyegar rasa bagaikan buah gelugur penyedap rasa (Asa songon gundur pangalamuni, gundur pangalambohi laho paulakhon tondi hudaging). Namun bagi saya, saya hanya ingin menyentuhkan rasa bahasa doa ke dalam bahasa kultural-etnis pendengar yang akan menghantar orangnya ke pengalaman tremendum et fascinosum sehingga tercapai cita-cita harmoni hati dan batinnya.

Setelah selesai doa, saya pun mengambil sejumput beras itu dan sambil berdiri meletakkan ke Simanjujung (ubun-ubun) mereka yang mengalami  ketidak seimbangan badani dan rohani sebagai akibat dari api. Sambil meletakkan, saya berucap "sai pir ma tondi ni susternami. Mulak ma tondi hudaging. Semoga teguhlah jiwa suster. Kembalilah jiwa-roh ke tubuh. Sekalipun demikian, saya merasa belum puas kalau hanya sekedar meletakkan boras pada simanjujung (ubun-ubun). Bagi yang tidak pernah dengan tradisi ini tentu saja tindakan ini  sesuatu yang lucu seperti Mbak Rara yang ditontong oleh Fabio Quartararo. Namun seperti pernyataan Vivekananda yang dikutip oleh Richard King (2001:273):

Saya percaya bahwa semua agama tidak saling kontradiktif; semua agama saling menambahkan. Setiap agama, sebagaimana adanya, merupakan bagian dari kebenaran universal Yang Agung, dan mengabisakan seluruh kekuatannya dalam mengejawantahkan dan melambangkan bagian dari kebenaran Yang Agung"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun